kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perang dagang kembali tegang, bagaimana ekspor Indonesia ke AS dan China?


Minggu, 12 Mei 2019 / 12:42 WIB
Perang dagang kembali tegang, bagaimana ekspor Indonesia ke AS dan China?


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Genderang perang dagang antara dua negara ekonomi raksasa Amerika Serikat (AS) dan China kembali bergema.

Akhir pekan kemarin, Jumat (10/5) tepat pukul 00.00 waktu Washington, AS menaikkan tarif dari sebelumnya 10% menjadi 25% terhadap barang-barang asal China dengan nilai US$ 200 miliar. Keputusan Presiden AS Donald Trump tersebut berlaku untuk waktu yang tak dapat ditentukan hingga negosiasi kedua negara menemukan titik terang.

Memanasnya hubungan dagang AS dan China membawa sentimen buruk bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia yang merupakan mitra dagang keduanya. Perang dagang yang terus berkelanjutan berimbas pada pelemahan ekonomi dan penurunan permintaan dari China. Lantas, ekspor nasional ke Negeri Panda tersebut bisa turut melesu.

Hal ini diakui oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution. Tensi dagang yang kembali meningkat antara AS dan China dapat menjadi sumber tekanan bagi Indonesia dan dunia.

"Kita belum tau persisnya seperti apa ini semua. Yang jelas, sekarang ini ekonomi dunia sedang melambat dan bisa melambat lagi kalau dia melakukan itu (Trump menaikkan tarif ke China)," ujar Darmin, Kamis (9/5) lalu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kinerja ekspor Indonesia sepanjang Januari-Maret 2019 sebesar US$ 40,51 miliar atau turun 8,5% year-on-year (yoy). Ekspor non-migas mencapai US$ 37,07 miliar, juga turun 7,83% dibandingkan tahun lalu.

Pada periode tersebut, China tetap menjadi negara tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan nilai mencapai US$ 5,4 miliar atau mengambil porsi 14,12% dari total ekspor nasional. Komoditas utama yang diekspor antara lain lignit, besi dan baja, serta minyak kelapa sawit (CPO).

Namun, sepanjang kuartal pertama lalu, ekspor Indonesia ke China mengalami penurunan sebesar 17,38% yoy. Periode yang sama tahun lalu, ekspor Indonesia ke China mencetak nilai US$ 6,34 miliar.

Sementara, AS merupakan negara kedua tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan nilai US$ 4,16 miliar atau mengambil porsi 11,23% dari total ekspor nasional. Sepanjang Januari-Maret lalu, perdagangan Indonesia dan AS juga mencatat penurunan sebesar 5,8%, dibandingkan tahun lalu di mana ekspor mencapai US$ 4,42 miliar.

Untuk mengatasi potensi penurunan ekspor lebih lanjut akibat perang dagang, Darmin mengatakan, pemerintah akan terus mencari cara untuk meningkatkan ekspor. Kendati begitu, ia tak menjelaskan cara-cara seperti apa persisnya yang akan ditempuh untuk merealisasikan itu.

"Kita tentu punya cara, jalan kita sendiri supaya kita bisa tetap mendorong ekspor," ujar dia.

Dalam susunan Program Prioritas Kemenko Perekomian 2019, kebijakan jangka menengah panjang untuk mendorong ekspor di antaranya penguatan struktur industri berorientasi ekspor, pengembangan SDM di bidang ekspor, pengembangan produk-produk unggulan ekspor, diversifikasi pasar non-tradisional, hingga pemberian fasilitas pembiayaan ekspor.

Adapun, untuk diversifikasi pasar non-tradisional, pemerintah berupaya melakukan penetrasi pasar ke kawasan Asia Tengah, Asia Selatan, serta Amerika Selatan.

Dari sisi investasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan, realisasi penanaman modal asing (PMA) dari AS dan China mengalami peningkatan sepanjang kuartal I-2019 dibandingkan kuartal sebelumnya.

PMA AS yang masuk ke Indonesia mencapai US$ 328,9 juta, naik dari sebelumnya US$ 215,4 juta. Sejalan, PMA China juga meningkat dari sebelumnya US$ 548,9 juta menjadi US$ 1,16 miliar pada periode Januari-Maret 2019.

Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan, prospek investasi China di Indonesia ke depan masih cukup positif. Ini juga sejalan dengan program besar Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan alias Belt and Road Initiative (BRI) yang diinisiasi China.

"Empat tahun terakhir, pemerintah China dan mitra-mitranya, termasuk Indonesia sangat berkomitmen dan serius untuk melanjutkan BRI. Meski juga diperlukan reformasi pada tata cara implementasi proyek BRI, lebih transparan, terbuka, dan inklusif," ujarnya beberapa waktu lalu.

Secara keseluruhan, Lembong meyakini kinerja investasi Indonesia sepanjang tahun ini akan jauh lebih baik ketimbang tahun lalu. Proyeksinya, pertumbuhan realisasi investasi paling tidak bisa kembali double-digit, pada kisaran 10%-11% pada 2019.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×