kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Penurunan tarif PPh Badan mesti dilakukan hati-hati


Senin, 21 Januari 2019 / 20:19 WIB
Pengamat: Penurunan tarif PPh Badan mesti dilakukan hati-hati


Reporter: Grace Olivia | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Negara-negara di dunia kian berlomba menurunkan besaran tarif Pajak Penghasilan (PPh) terhadap badan atau perusahaan. Di Indonesia, pemerintah pun menyatakan tengah mengkaji kemungkinan penurunan tarif pajak perusahaan tersebut.

Namun, kebijakan penurunan tarif PPh badan dinilai mesti dilakukan dengan berhati-hati dan penuh perhitungan.

Peneliti Perpajakan DDTC Bawono Kristiaji tak menampik penurunan tarif PPh Badan memang menjadi tren di banyak negara, sesuai dengan data terbaru yang dirilis oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) baru-baru ini. Lembaga tersebut menunjukkan, rata-rata tarif PPh badan di dunia menurun dari sebelumnya 28,6% pada tahun 2000, menjadi 21,4% pada 2018.

"Alasan utamanya adalah menggenjot ekonomi domestik dan meningkatkan daya saing dalam perebutan modal," ujarnya, Senin (21/1).

Namun, Bawono menambahkan, penurunan tarif tersebut umumya diikuti juga dengan perluasan basis pajak atau sering disebut sebagai broad base - low rate.

Bawono menilai, Indonesia memang makin terdesak untuk melakukan perubahan tarif PPh badan di tengah tensi kompetisi pajak yang makin meningkat antarnegara. Terutama, pasca reformasi pajak Amerika Serikat (US Tax Reform) yang menurunkan tarif PPh badan dari 35% menjadi 21%.

Penurunan tarif juga dinilai bisa mengurangi risiko praktik aggresive tax planning, maupun perpindahan keuntungan (profit shifting).

Kendati begitu, ia mengingatkan bahwa penurunan tarif hanyalah salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing. Di samping itu, pemerintah juga masih bisa memberikan insentif pajak, mengubah sistem dari worldwide ke teritorial, hingga menciptakan kepastian hukum pajak.

"Untuk mendorong investasi pun, ada faktor lain seperti situasi politik, ketersediaan infrastruktur, akses terhadap pasar, dan sebagainya," tutur Bawono.

Komponen yang lebih signifikan dalam perebutan investasi pun dinilainya bukan semata tarif resmi, melainkan juga tarif pajak efektif alias beban pajak efektif yang diterima oleh wajib pajak.

Adapun, soal potensi peningkatan kepatuhan pajak, Bawono menilai hal tersebut lebih dipengaruhi oleh situasi administrasi pajak, mulai dari pelayanan yang baik hingga ketersediaan informasi. Oleh karena itu, penurunan tarif pajak perusahaan perlu diiringi dengan perlindungan dan perluasan basis pajak agar terhindar dari risiko tergerusnya penerimaan pajak dalam jangka pendek.

Sementara mengenai usulan tarif yang ideal, Bawono mengaku masih perlu memperhitungkannya dengan matang. Namun, ia menilai, penurunan tarif tak serta merta mesti mengikuti Singapura yang mematok PPh badan 17% karena perbedaan situasi ekonomi.

"Tidak perlu kita harus head to head dengan Singapura karena karakteristik ekonomi kedua negara berbeda, mulai dari ketersediaan SDA, jumlah SDM dan kebutuhan biaya pembangunan, sektor ekonomi, dan sebagainya sehingga preferensi fiskalnya pastinya berbeda," tutur dia.

Bawono juga menegaskan, selama pemerintah tidak membuat suatu terobosan untuk basis pajak, justru ada risiko peningkatan tarif untuk jenis pajak lainnya. "Jadi ini harus dilihat secara hati-hati sekali," tukas Bawono.

Senada, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga menilai tarif pajak tak mesti langsung diturunkan hingga 17%. Menurutnya, pemerintah sebaiknya melakukan penurunan tarif secara bertahap sambil mengevaluasi hasil peningkatan investasi dan kepatuhan pajak.

"Tahap awal mungkin bisa diturunkan menjadi 22% hingga 23% dulu," ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×