kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Peluang Indonesia menang di WTO lawan Uni Eropa kecil


Sabtu, 13 April 2019 / 14:21 WIB
Pengamat: Peluang Indonesia menang di WTO lawan Uni Eropa kecil


Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia sepakat untuk menempuh jalur litigasi ke Organisasi Perdaganan Dunia atawa World Trade Organization (WTO) soal kebijakan diskriminatif Uni Eropa (UE) terkait kelapa sawit.

Uni Eropa akan segera memberlakukan aturan Delegated Regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II). Aturan tersebut menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau indirect land-use change (ILUC).

Sesuai dengan ketentuan, aturan tersebut akan berlaku, baik dengan maupun tanpa persetujuan Parlemen UE dalam kurun dua bulan sejak Delegated Regulation diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret lalu. Artinya, aturan tersebut akan efektif pada 12 Mei mendatang.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, Indonesia akan bertindak terhadap implementasi kebijakan tersebut. "Apa pun itu, kita tetap harus menggugat. Masa sudah didiskriminasi, kita tidak gugat? Kita juga akan review lagi kebijakan dan hubungan dengan Uni Eropa," tandas Darmin, Jumat (12/4).

Kendati begitu, Pengamat Ekonomi Internasional Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai, perlawanan Indonesia melalui gugatan ke WTO terhadap Uni Eropa kemungkinan besar hanya akan merugikan Indonesia.

Dalam catatan Fithra, selama 2014-2018, hanya kurang dari 10% kasus yang berhasil dimenangkan Indonesia di WTO. "Apalagi, ini kasus non-tariff barriers yang lebih sulit dibuktikan di forum WTO karena sifatnya yang sangat abstrak. Kemungkinan kita menang di WTO untuk kasus CPO ini kecil," kata Fithra kepada Kontan.co.id, belum lama ini.

Fithra juga bilang, biaya yang dibutuhkan untuk menggugat perkara ke WTO sangat besar. Untuk membayar jasa pengacara dan konsultan hukum saja perhitungannya bisa mencapai US$ 6 juta sampai US$ 10 juta secara keseluruhan.

Dalam konteks kasus non-tariff barriers seperti ini, Indonesia juga tak boleh hanya mengandalkan pengacara, tetapi juga menyiapkan argumen berbasis data yang sangat rinci dan lengkap. "Dalam konteks ini, kita tahu kalau Indonesia sering sekali missed di aspek data," kata Fithra.

Selain itu, Fithra juga menyarankan agar Indonesia tak terlalu gegabah mengeluarkan pernyataan retaliasi terhadap Uni Eropa, terutama terkait dengan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (I-EU CEPA).

Di tengah ketidakpastian perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, peran Uni Eropa sebagai partner non-tradisional bagi Indonesia sangatlah penting. Perjanjian I-EU CEPA merupakan titik terang bagi perdagangan Indonesia, yang kini sudah mengalami banyak kemajuan dalam perundingannya.

"Upaya litigasi atau retaliasi hanya akan menjadi catatan buruk buat Indonesia. Apalagi selama ini kita menikmati fasilitas generalized system of preferences (GSP) dari UE," kata Fithra.

GSP merupakan fasilitas keringanan ekspor dari Indonesia ke Eropa yang akan berakhir pada tahun ini. Ketegangan hubungan Indonesia dan Uni Eropa, menurut Fithra, berpotensi membuat UE enggan meninjau kembali GSP untuk Indonesia dan menghentikannya.

Adapun, Fithra berharap, pemerintah bisa mempertimbangkan cara-cara yang lebih bijak dan berkepala dingin dalam menghadapi aturan Uni Eropa tersebut.

"Mungkin bisa lewat cara yang lebih informal saja. Pertemuan antar pelaku usaha, business-to-business untuk mengomunikasikan kepatuhan kita dalam memenuhi syarat mereka. Alih-alih kita menciptakan masalah yang tidak perlu," tandas Fithra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×