kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyikapi tahun politik 2018, ini kata pengamat


Jumat, 24 November 2017 / 18:10 WIB
Menyikapi tahun politik 2018, ini kata pengamat


Reporter: Siti Rohmatulloh | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2018 disebut-sebut sebagai tahun pilkada (pemilihan kepada daerah) serasa pilpres (pemilihan presiden). Meski begitu, pengamat menilai memasuki tahun politik tidak perlu terlalu khawatir.

Pilkada 2018 akan dilangsungkan di 171 daerah, 17 di antaranya dilaksanakan di tingkat provinsi termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Gabungan dari pemilih yang ada di 3 provinsi besar tersebut setara dengan 45% dari total populasi nasional.

Jawa Timur dilihat sebagai barometer Pilpres. "Pemenang di Jatim umumnya menang pilpres, sebaliknya Jabar barometer pemilihan legislatif. Jika sebuah partai politik menang di Jabar, biasanya di nasional juga menang," terang Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Lembaga Riset Indikator Politik Indonesia, dalam kesempatan DBS Asian Insight Selasa (21/11) lalu.

Menurut Burhan, saat ini belum ada calon yang dominan. Melihat lebih jauh, perlu dianalisa apa yang akan terjadi setelah pilkada 2018.

Saat ini, per September 2017, persentase approval rating yang diperoleh Jokowi sebesar 68,2%. Dari persentase tersebut menunjukkan masyarakat Indonesia puas terhadap kinerja Jokowi.

Stabilitas tingkat kepuasan ini sudah terjadi sejak setahun sebelumnya. "Sudah terjadi konsolidasi massa, kepuasan massa sudah terjadi sejak tahun lalu," jelas Burhan.

Anehnya, meski positif namun persentase tidak meningkat. Ini membuat tingkat ketidakpastian politik pada 2019 semakin tinggi sebab masyarakat tidak memilih berdasar kinerja semata. Menurut Burhan, calon wakil presiden-lah yang akan menentukan keunggulan di 2019.

Persepsi mengenai ekonomi nasional menjadi faktor penting penggerak approval rating. Pengendalian tingkat inflasi dan daya beli masyarakat adalah kuncinya. Sisi lain, rapor merah di 3 hal menjadi PR besar, yakni pemenuhan kebutuhan pokok, penyediaan lapangan pekerjaan, dan pengentasan kemiskinan.

Menghadapi situasi ini, ekonom menyarankan pengalihan fokus pada kelompok ekonomi menengah ke bawah yang harus diberi suntikan agar dapat melakukan spending. Peningkatan daya beli secara politik akan sangat berdampak.

Ketidakpastian situasi politik tampaknya tidak perlu terlalu dikhawatirkan pengusaha. Menurut Chatib Basri, Pakar Perdagangan Internasional Ekonomi Makro dan Ekonomi Politik, justru ini merupakan kesempatan.

Meski situasi yang tidak pasti ini membuat orang cenderung memegang uang cash dan menahan belanja.  Ketidakpastian ini diperkirakan akan muncul dalam dua tahun dan justru merupakan sebuah peluang.

“2019 prospeknya lebih bagus, ini adalah chance yang paling baik untuk memanfaatkan investasi,” kata Chatib Basri dalam kesempatan yang sama.

Ia menyarankan pengusaha untuk mengambil kesempatan dan meningkatkan market share karena menurutnya setelah 2019 akan mulai terlihat efek pembangunan infrastruktur dan investasi sehingga pertumbuhan ekonomi pun akan positif.

Gundy Cahyadi, Ekonom DBS Group Research, juga menilai political risk masih kecil. Ketertarikan investor asing pun akan meningkat dengan banyaknya yang kembali beralih dari sektor pertambangan ke sektor industri manufaktur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×