kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menkeu kaji komponen tax ratio


Kamis, 20 Juli 2017 / 18:50 WIB
Menkeu kaji komponen tax ratio


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Johana K.

JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sedang melakukan kajian yang teliti mengenai definisi tax ratio atau rasio pajak agar perbandingan dengan negara lainnya bisa konsisten. Pasalnya, ada perbedaan komponen antara Indonesia dengan negara lainnya.

Menurut Sri Mulyani, negara lain ada yang masukkan royalti, pajak daerah dan social security dalam tax ratio-nya. Oleh karena itu, tax ratio Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara lain.

“Tampaknya Indonesia tidak apple to apple dengan negara lainnya karena isi tax ratio berbeda. Saya minta ke Ditjen Pajak untuk melakukan kajian komponen-komponen apa yang masuk dalam tax ratio,” kata Sri Mulyani di Gedung DPR, Rabu (19/7).

Ia melanjutkan, karena Indonesia ingin agar tax ratio-nya comparable dengan negara lain, maka harus dlihat apa yang membuat perbedaan itu. “Kalau kebijakan mengenai PTKP (penghasilan tidak kena pajak) dengan income per capita yang kita miliki dengan negara lain, apakah itu bisa dilihat sebagai sesuatu yang menjelaskan basis pajak kita berbeda? Kalau PTKP lebih tinggi, basis pajaknya berkurang,” ujar dia.

Indonesia sendiri sudah dua kali naikkan PTKP. Sri Mulyani bilang, kalau dibandingkan dengan negara-negara Asian, PTKP Indonesia paling tinggi walaupun pedapatan per kapita di Indonesia relatif lebih rendah dari negara seperti Malaysia dan Thailand.

Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam bilang, upaya meneliti apa yang dimaksud dengan komponen tax ratio jelas sangat dibutuhkan terlebih dalam konteks bahwa tax ratio menjadi salah satu indikator untuk melihat kinerja penerimaan suatu negara.

Tax ratio sendiri bisa dihitung dengan rumus; penerimaan pajak dibagi PDB, dengan maksud untuk menghitung sejauh mana aktivitas ekonomi suatu negara dapat dipungut pajaknya. Persoalannya adalah tiap negara memiliki perbedaan atas apa yang disebut sebagai definisi 'penerimaan pajak'.

“Apakah itu mengacu hanya pada penerimaan yang dipungut oleh otoritas pajak atau mencakup kepabeanan dan cukai, atau hingga pajak daerah, dan social security contribution seperti di banyak negara Eropa? Adanya klasifikasi yang berbeda-beda tersebut jelas membuat analisis tax ratio antarnegara menjadi bias dan sulit untuk diperbandingkan apple to apple,” katanya kepada KONTAN, Kamis (20/7).

Untuk konteks Indonesia, tax ratio hanya mengacu pada penerimaan pajak (PPh, PPN, PBB, pajak lainnya) serta kepabeanan dan cukai (cukai, bea masuk, pajak ekspor) yang pada tahun lalu nilainya hanya 10,3%.

“Jadi memang tidak bisa apple to apple membandingkan tax ratio antara satu negara dengan negara lain,” ucap dia.

Senada, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, jika persoalannya komparasi, jika keberhasilan Indonesia diukur dengan cara dibandingkan dengan negara lain, maka komponen tax ratio harus sama. Dan harus diakui, tidak ada standar yang jelas atau terlalu longgar.

“Kalau sekedar mengukur kinerja domestik tanpa membandingkan, dari yang ada bisa dipakai asal konsisten,” jelasnya.

Indonesia setidaknya, menurut Yustinus belum mengintegrasikan natural resources revenue termasuk PNBP dan iuran BPJS. Adapun pajak daerah yang seharusnya termasuk retribusi, “Faktor exemption juga bisa dibandingkan, seperti maksud Menkeu soal besaran PTKP,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×