kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengapa konsep NCICD dan reklamasi perlu direvisi?


Sabtu, 02 Juli 2016 / 00:36 WIB
Mengapa konsep NCICD dan reklamasi perlu direvisi?


Reporter: Agus Triyono, Umar Idris | Editor: Umar Idris

JAKARTA. Konsep megaproyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara atawa national capital integrated coastal development (NCICD) masih dipersoakan, termasuk konsep tanggul raksasa (giant sea wall) dan proyek reklamasi yang ada di dalamnya. Kritik terhadap konsep ini kian menemukan momentum setelah adanya vonis hakim terhadap pulau G dan kemudian diikuti dengan keputusan untuk menghentikan proyek tersebut oleh Menko Maritim Rizal Ramli.

Kementerian Maritim, Kamis kemarin (30/6), memutuskan untuk menghentikan reklamasi yang sedang berlangsung di Pulau G di teluk Jakarta. Reklamasi di pulau G dikerjakan oleh PT Muara Wisesa Samudera, cucu usaha Grup Agung Podomoro. Kementerian yang dipimpin oleh Rizal Ramli itu menilai banyak terjadi pelanggaran berat dalam pelaksanaan proyek di Pulau G.

Di antaranya, pembangunan pulau tersebut dilakukan di atas kabel listrik milik PLN yang akan gunakan untuk menerangi wilayah Jakarta. Pelanggaran berat lainnya, pengembang Pulau G menutup dan mengganggu akses jalan nelayan, dan berpotensi mematikan biota laut.

Belum jelas benar, keputusan ini apakah masih harus dikonsultasikan dengan Presiden Joko Widodo untuk mendapatkan persetujuan atau sudah bersifat final. Pengembang yang telah mengeluarkan investasi hingga ratusan miliar, bahkan hingga Rp 50 triliun hingga proyek reklamasi pulau G selesai, tentu saja akan menagih kepastian hukum dan investasi kepada pemerintah.

Pemerintah berencana untuk mengambil alih pulau G yang seluas 44 hektar dan 111 hektare jika memperhitungkan bagian bawah pulau. Pulau itu nantinya akan dijadikan pulau konservasi dan reboisasi.

Selain pulau G, Rizal Ramli memberikan sanksi sedang terhadap pengembang Pulau C,D dan N. Pengembang Pulau C dan D melakukan pelanggaran dengan menggabung pembangunan kedua pulau tersebut menjadi satu. Dua pulau ini dikelola oleh PT Kapuk Naga Indah, anak usaha grup Agung Sedayu yang bosnya, Sugianto Kusuma alias Aguan sedang terseret perkara suap reklamasi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan pulau N merupakan bagian dari proyek Pelindo II untuk pembangunan Pelabuhan Kalibaru (New Priok Container Terminal 1).

Pelindo II ditengarai melakukan pelanggaran dan pelaksanaan teknis yang mengganggu lingkungan hidup sehingga izin Amdal bermasalah, namun pembangunan fisiknya tetap dilakukan.   

Reklamasi pulai G, C, D dan N, merupakan satu dari 17 pulau reklamasi yang masuk dalam megaproyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota atau dikenal dengan National Capital Integratied Coastal Development (NCICD). Mega proyek ini akan dikerjakan dengan public private partnership (PPP), konsep kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam melaksanakan pembangunan proyek, termasuk dalam pendanaan.

Proyek NCICD saat ini tampak rumit setelah proyek reklamasi terseret dengan kasus suap dan sedang ditelusuri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibat kasus pidana korupsi ini, Rizal Ramli berdalih agar KPK menyelesaikan perkara pidana, tidak mau menggugat sendiri atas pelanggaran yang dilakukakan oleh pengembang dalam proses reklamasi di sejumlah pulau reklamasi yang dituding terjadi banyak pelanggaran.

 Selain itu, setelah terseret kasus suap mencuat, pemerintah pusat, yakni Menko Kemaritiman, menghentikan sementara semua proyek reklamasi hingga syarat perizinan terpenuhi. Namun presiden menyatakan tetap akan melanjutkan proyek NCICD dan memerintahkan Bappenas membuat rencana induk (master plan) NCICD, bersama konsultan dari Belanda yang disiapkan oleh pemerintah Belanda.  Keputusan presiden tersebut dibuat pada akhir April 2016, sebulan sebelum putusan PTUN Jakarta yang membatalkan proyek reklamasi di pulau G pada akhir Mei (31/5).

Sekadar mengingatkan, akhir Mei lalu, hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)  Jakarta menilai, reklamasi yang dijalankan oleh PT Muara Wisesa Samudera, anak usaha Agung Podomoro Land, tidak sesuai dengan UU yang sah, yakni Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisisir dan Pulau-Pulau Kecil; tidak bersifat mendesak dan berdampak buruk pada lingkungan pesisir Jakarta serta pada kehidupan nelayan.

Gugatan serupa sedang berlangsung di PTUN Jakarta untuk proyek reklamasi di Pulau F, pulau I, dan Pulau K. Pulau F dibangun oleh PT Jakarta Propertindo, Pulau I oleh PT Jaladri Eka Paksi, dan Pulau K milik PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. Izin Pulau F dan I diterbitkan Gubernur Basuki Thajaja Purnama pada 22 Oktober 2015, sementara izin Pulau K terbit pada 17 November 2015. Pertanyaan sederhananya, masyarakat, termasuk para pengembang, akan mengikuti keputusan yang mana? Keputusan hakim, keputusan presiden ataukah keputusan seorang Menko Rizal Ramli?

Tak berhenti sampai di situ, kerumitan dalam mega proyek NCICD bahkan masih bertali temali dengan masalah yang amat mendasar seputar konsep mega proyek ini. Sebagian ahli masih mempersoalkan konsep mega proyek ini karena dianggap tidak tepat, hingga peta pulau reklamasi yang ada saat ini perlu ditata ulang.

Konsep atas mega proyek NCICD seluas 1.250 hektare yang di dalamnya meliputi proyek tanggul raksasa (giant sea wall) dan proyek reklamasi teluk Jakarta ini masih dikritik dengan keras karena dinilai tidak tepat sehingga perlu direvisi. Para pengkritik proyek senilai ratusan triliun rupiah ini kian berkibar menyusul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang meminta reklamasi di pulau G dihentikan. Bahkan kini secara tidak langsung telah diamini oleh Menko Maritim Rizal Ramli dengan instruksi untuk membongkar pulau yang dinilai melanggar tata ruang dan lingkungan.

Konsep NCICD

Kembali ke soal konsep NCICD. Kritik atas konsep NCICD ini datang dari pakar teknik kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) Muslim Muin yang juga tergabung dengan organisasi masyarakat penggugat reklamasi. Pendapat Muslim dan organisasi masyarakat sipil, termasuk nelayan, kian nyaring terdengar setelah adanya putusan PTUN Jakarta. Bahkan pertengahan Juni lalu, salah satu perusahaan pengembang reklamasi yang tak ingin disebutkan identitasnya, ingin mendengar langsung dan mempelajari lebih jauh pendapat Muslim.

Selain Muslim, beberapa pakar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga mengkritik mega proyek ini. Kritik mereka telah disampaikan secara terbuka pekan lalu (lihat http://www.thejakartapost.com/news/2016/06/27/ncicd-doing-more-harm-good-scientists-claim.html)

Mengapa konsep proyek tanggul raksasa dan proyek reklamasi yang ada saat ini tidak tepat dan tidak layak untuk diteruskan?  “Selain konsepnya tidak tepat, biaya ekonominya sangat besar,” tutur Muslim, kepada KONTAN, beberapa pekan lalu (24/6).

Kritik pertama soal pemurnian air sungai. Dengan konsep yang ada saat ini, air hujan dan kotoran rumah tangga yang dialirkan melalui sungai akan dibiarkan masuk ke dalam wilayah proyek reklamasi. Air rumah tangga dan industri yang berasal dari sungai akan bercampur dengan air hujan di dalam area reklamasi dan giant sea wall. Kawasan giant sea wall akan menjadi tempat pembuangan raksasa karena mencampurkan semua jenis air.   

Akibatnya air tersebut sulit untuk memenuhi baku mutu. Pemerintah beralasan, di situlah pemerintah akan membersihkan air melalui proses pemurnian sehingga air di tempat pembuangan raksasa itu menjadi air bersih dan memenuhi baku mutu. Tapi justru di sinilah konsep NCICD mengandung kritik keras dari pakar teknik kelautan seperti Muslim.

“Konsep yang ada sekarang seperti menjadikan area reklamasi seperti tempat pembuangan raksasa, di situ ada air rumah tangga, air hujan, dan air laut, meskipun di situ akan dibersihkan,” terang Muslim.

Akan lebih tepat, katanya, seperti pernah dilakukan di St Peterbergs, Rusia: pemerintah Rusia membersihkan lebih dahulu air hujan dan kotoran rumah tangga di aliran sungai dengan membangun tempat pengelolah air (sewage treatment plant) di beberapa hulu sungai,  sebelum air tersebut masuk ke dalam area reklamasi dan giant sea wall. Cara seperti ini lebih masuk akal dan lebih tepat, kata Muslim.

Konsep yang ada saat ini lebih tepat dilakukan di daerah yang tidak memiliki aliran sungai masuk, seperti di Dubai Palm Island. Di sana, tidak ada aliran sungai masuk ke dalam Palm Island sehingga di dalam areanya dapat sekaligus dikerjakan pemurnian air agar memenuhi baku mutu. Sedangkan di Jakarta, ada 13 aliran sungai yang masuk ke teluk Jakarta yang harus dipertimbangkan pembuangannya.

Cara tersebut dipandang lebih tepat karena akan mendukung sumber daya kelautan dan lingkungannya, termasuk pariwisata, di teluk Jakarta, dalam jangka panjang.

Kritik kedua soal konsep pembangunan giant sea wall.  Dengan konsep yang ada sekarang, lihat di www.ncicd.com, air yang ada di dalam area giant sea wall dan reklamasi harus diturunkan sekitar 3 atau 4 meter dari permukaan air laut yang ada di luar tanggul raksasa. Air di dalam area tanggul raksasa harus diturunkan agar air dari sungai di Jabodetabek dapat lancar mengalir masuk ke dalam area wilayah reklamasi dan giant sea wall. Air tersebut juga harus diturunkan agar area reklamasi tidak banjir diterjang air laut dan air sungai saat hujan.

Sebab itu, untuk menjaga air di dalam area giant sea wall tetap rendah dan air sungai tetap mengalir, pemerintah akan membangun pompa raksasa yang diperkirakan berkapasita sekitar 3.000 meter kubik per detik di beberapa titik di giant sea wall. Pompa ini berfungsi untuk mengeluarkan air dari dalam area giant sea wall ke laut dan menjaga agar air sungai tetap mengalir ke dalam area giant sea wall. Tanpa pompa raksasa itu, area di dalam giant  sea wall, termasuk area reklamasi, akan banjir akibat banjir kiriman dari hulu serta air hujan.  Pompa terbesar di dunia itu bahkan menjaga wilayah Jakarta akan ikut banjir karena air tidak bisa mengalir ke laut. Bagaimana jika pompa tersebut macet atau ngadat? Air di dalam area reklamasi dan giant sea wall akan meluap dan justru menggenangi Jakarta.

Efek lainnya, penurunan air di dalam giant sea wall akan mengakibatkan perubahan lingkungan. Jangan heran jika nanti  pelabuhan nelayan dan pelabuhan tanjung priok, akan sulit untuk beroperasi seperti biasa karena airnya telah turun sekitar 2 hingga 3 meter.  Kapal-kapal besar dan kecil akan sulit menyesuaikan dengan bibir pelabuhan. Selain itu, PLTU Muara Karang juga akan terkena dampaknya karena air laut untuk mendinginkan generator nanti akan berkurang dan turun akibat penurunan air di dalam giant sea wall. “Mau tidak mau, pelabuhan dan PLTU akan dipindahkan,” kata Muslim.

Ketiga, peta pembangunan reklamasi tidak tepat. Dengan konsep reklamasi saat ini, pulau-pulau reklamasi berada di hilir sungai sehingga dalam jangka panjang akan menghambat 13 aliran sungai yang akan masuk laut Jakarta. Tanpa perubahan peta reklamasi saat, menurut Muslim, pulau-pulau reklamasi saat ini justru menjadi ancaman bagi Jakarta. Fungsi tidal flushing (pembilasan pasang surut air) hilang dan kualitas air di sungai dan area reklamasi diperkirakan buruk.

Keempat, alasan NCICD, khususnya tanggul raksasa tidak kuat. Menurut pemerintah dan konsultan asal Belanda yang membidani lahirnya NCICD mengatakan, mega proyek ini diperlukan untuk mengatasi ancaman berupa naiknya muka air laut akibat angin kencang (storm surge). Ancaman lainnya berupa land subsidence atawa penurunan permukaan tanah di kawasan pesisir laut Jakarta.

Menurut Muslim, ancaman storm surge di teluk Jakarta tidak besar. Penelusuran yang dilakukan oleh Muslim, storm surge di teluk Jakarta hanya setinggi sekitar 10 cm sehingga tidak perlu dibangun giant sea wall. Sedangkan ancaman land subsidence memang nyata. Namun solusi atas land subsidence bukan dengan cara menutup teluk Jakarta dengan giant sea wall.    

Bagaimana solusi yang dinilai ramah lingkungan, setidaknya menurut seorang pakar teknik kelautan seperti Muslim? Solusi yang dinilai cukup menjawab ancaman penurunan muka tanah adalah, pertama, memperkuat tanggul pantai di sepanjang pantai utara Jakarta. Kedua, memperkuat pembangunan tanggul sungai di 13 sungai yang mengalir ke laut.

Menurut Muslim, jika tanggul pantai  dan tanggul sungai diperkuat, pemerintah hanya memompa air hujan di daerah yang mengalami penurunan muka tanah (land subsidence). Sedangkan jika tanggul raksasa dibangun, pemerintah harus memompa air di dalam land subsidence dan air di dalam reservoir di dalam area NCICD.

Perbedaan lainnya dari sisi daerah tangkapan hujan yang akan dikendalikan melalui pompa. Jika pemerintah membangun giant sea wall, daerah tangkapan hujan yang harus dikendalikan dengan pompa raksasa meliputi Bogor, Bekasi, dan sebagian wilayah Tangerang. Sedangkan, tanpa giant sea wall, pengendalian daerah tangkapan hujan hanya diseputar Jakarta dengan kapasitas pompa hanya sekitar 100 m3/detik, jauh lebih kecil dari pompa dengan konsep NCICD yang totalnya sekitar 3.000 m3/ atau masing-masing sebesar 1.100 m3/detik.

Dari sisi risiko, pembangunan giant sea wall diklaim memiliki risiko yang lebih besar. Jika pompa yang dipasang di tanggul raksasa macet, Jakarta akan tergenang oleh banjir dari hulu sungai dan dari daerah reservoir di dalam area NCICD. Sedangkan tanpa tanggul raksasa, ancaman terhadap Jakarta hanya berasal dari air hujan yang turun di daerah yang mengalami penurunan muka tanah (land subsidence).

Perlu dicatat, kedua konsep ini sama-sama tergantung pada pompa untuk menyelamatkan Jakarta dari ancaman banjir yang timbul sewaktu-sewaktu, terutama saat musim hujan datang.    

Biaya ekonomi besar

Di samping plus minus konsep tersebut, pertimbangan lainnya seputar biaya ekonomi dan lingkungan. Dari sisi lingkungan, para pengritik proyek NCICD menilai, banyak sumber daya kelautan (marine resources) Teluk Jakarta, seperti pariwisata, akan terganggu. Kerugian lingkungan ini menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.

Apa saja biaya yang akan ditimbulkan dan akan menjadi beban ekonomi?  Pertama, biaya pembangunan tanggul raksasa untuk mencegah air laut memasuki area proyek reklamasi, mencapai Rp 300 triliun. Nilai proyek ini, menurut Muslim, diperkirakan akan bertambah lebih besar karena masih ada tambahan pekerjaan di sana sini. Biaya ini akan terbuang sia-sia. “Walau ada giant sea wall, tapi di pinggir pantai, masih dibangun tanggul yang baru, berapa itu biayanya,” tanya Muslim.  

Kedua, biaya operasional proyek NCICD sangat besar, sekitar Rp 9 triliun per tahun. Biaya ini diantaranya untuk membersihkan air sungai dan air laut di dalam area reklamasi serta menjaga keseimbangan air di luar tanggul raksasa dan di dalam proyek reklamasi. Biaya operasional itu antara lain untuk mengoperasional pompa air raksasa di tanggul raksasa agar air di dalam NCICD tetap rendah dan untuk membersihkan air di dalam area reklamasi dan tanggul raksasa.

Ketiga, biaya atas dampak lingkungan. Biaya ini antara lain untuk memindahkan pelabuhan dan PLTU Muara Karang. Biayanya bisa mencapai Rp 30 triliun hanya untuk memindahkan dua infrastruktur tersebut. Belum termasuk kerusakan lingkungan pantai dan hilangnya mata pencaharian para nelayan.

Semua persoalan ini berpulang kepada Presiden Joko Widodo, apakah akan tetap melanjutkan mega proyek yang telah masuk dalam proyek strategis nasional ini atau mengevaluasi total demi menghindari kerugian yang lebih besar dan berjangka panjang.

Kritik kepada konsep NCICD terus mengemuka saat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sedang menyusun masterplan NCICD yang baru. Penyusunan masterplan tahap pertama NCICD akan diserahkan kepada Presiden Jokowi pekan depan, usai libur lebaran. Penyusunan masterplan ini diharapkan telah mengakomodir berbagai pendapat para ahli di tanah air, bukan sekadar demi menjalankan proyek bernilai ratusan triliun rupiah.

Tekanan kepada presiden diperkirakan akan kian mengemuka dengan kedatangan perdana menteri Belanda dan menteri infrastruktur Belanda yang dikabarkan akan datang ke Jakarta, November nanti.

Sekadar mengingatkan, proyek NCICD ini dikerjakan dengan dukungan dari Pemerintah Belanda, Pemerintah pusat, dan pemerintah provinsi DKI Jakarta dengan melibatkan sejumlah konsultan, terutama konsultan dari Belanda. Khusus untuk pembangunan tanggul raksasa yang diperkirakan menghabiskan Rp 120 triliun, akan dibangun dengan dana pengembang yang telah mendapatkan izin reklamasi di 17 pulau, ditambah dengan dana dari pemerintah pusat dan DKI Jakarta. Konsep NCICD versi pemerintah dapat dilihat di http://ncicd.com/.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×