kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

JHT untuk hari tua pekerja yang lebih sejahtera


Sabtu, 24 Desember 2016 / 17:27 WIB
JHT untuk hari tua pekerja yang lebih sejahtera


Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Jumlah pekerja di Indonesia terus bertambah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2016 menunjukkan, jumlah penduduk produktif dengan usia di atas 15 tahun dan bekerja mencapai  118,41 juta orang, jumlah itu naik 3,1% dibandingkan Agustus 2015 yang sebanyak 114,82 juta orang.

Jumlah itu menggambarkan potensi besar usia produktif di Indonesia. Apalagi menurut data Badan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Indonesia mendapatkan bonus demografi terbesarnya pada tahun 2020-2030. Bonus demografi adalah kondisi dimana jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan jumlah penduduk usia tidak produktif  (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun). Pada periode itu jumlah penduduk usia produktif mencapai 70%, sedangkan yang tidak produktif sebesar 30%.

Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Pekerjaan Utama

Status Pekerjaan Utama Februari2015 Agustus 2015 Februari 2016 Agustus 2016
Berusaha Sendiri 21.653.271 19.529.747 20.392.400 20.015.291
Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar 18.798.629 18.187.786 20.997.852 19.450.879
Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar 4.210.501 4.072.340 4.023.653 4.380.002
Buruh/Karyawan/Pegawai 46.617.534 44.434.390 46.301.470 45.827.785
Pekerja Bebas di Pertanian 5.076.013 5.086.153 5.240.45 5.499.898
Pekerja Bebas di Non Pertanian 6.803.128 7.449.080 7.002.288 6.965.506
Pekerja Keluarga/Tak Dibayar 17.687.745 16.059.703 16.689.576 16.272.612
Total 120.846.821 114.819.199 120.647.697 118.411.973

Sumber: Badan Pusat Statistik

Struktur penduduk dengan jumlah pekerja yang besar menguntungkan pembangunan nasional, namun di satu sisi juga menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menyiapkan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Ini juga menjadi tantangan bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (PBJS) Ketenagakerjaan untuk memberikan pelayanan terbaik, tidak hanya bagi pekerja namun juga bagi pembangunan Indonesia melalui investasi di pasar uang maupun pasar modal.

Ini sesuai misi BPJS Ketenagakerjaan, yaitu melindungi dan mensejahterakan seluruh pekerja dan keluarganya, meningkatkan produktivitas dan daya saing pekerja, dan mendukung pembangunan dan kemandirian perekonomian nasional.

Dengan misi itu, maka semangat yang harus dikedepankan oleh BPJS Kesehatan adalah bagaimana agar imbal hasil iuran yang dibayarkan oleh pekerja bisa memberikan manfaat kesejahteraan sebesar-besarnya bagi pekerja. Selain itu iuran tersebut bisa juga dimanfaatkan untuk membantu pembiayaan pembangunan.

Namun sayangnya, dari empat program layanan bagi pekerja oleh BPJS Ketenagakerjaan, salah satunya dianggap belum belum bisa mewujudkan misi tersebut, yaitu program Jaminan Hari Tua (JHT). Seperti diketahui, selain JHT, tiga program lain BPJS Ketenagakerjaan adalah program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan program Jaminan Pensiun.

Tidak maksimalnya manfaat JHT bagi pekerja dan pembangunan nasional diungkapkan Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ahmad Ansyori. Menurutnya pelaksanaan program JHT BPJS Ketenagakerjaan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2015 yang merevisi PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT, telah merugikan pekerja, BPJS Ketenagakerjaan, dan pemerintah.

Pekerja tidak mendapatkan manfaat yang besar dari imbal hasil pengelolaan dana iuran yang disetorkan. Sebab PP itu memberikan kesempatan bagi pekerja untuk mencairkan dana JHT sebulan setelah tidak bekerja, karena mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini, menurutnya, juga telah menimbulkan kecurangan yang dilakukan pekerja, bekerja sama dengan perusahaan.

Modus kecurangan yang dilakukan adalah perusahaan membuat keterangan PHK agar pekerja dapat mencairkan dana JHT. Iuran JHT selain dibayar oleh pekerja juga disubsidi oleh perusahaan pemberi kerja. Dari total iuran sebesar 5,7% upah per bulan, sebesar 3,7% dibayarkan perusahaan dan 2% dibayar dari gaji pekerja.

Sebenarnya selain JHT, jaring pengaman hari tua yang dimiliki pekerja adalah Jaminan Pensiun. Jika dana JHT bisa diambil sekaligus saat masuk usia pensiun, meninggal dunia atau cacat tetap, jaminan pensiun adalah dana pengganti yang akan diberikan setiap bulan.

Bagi BPJS Ketenagakerjaan, aturan itu membuat penarikan dana JHT membesar. Kondisi itu telah membelenggu penempatan pengelolaan dana pada sektor investasi jangka pendek. Akibatnya dari sisi pemerintah, lonjakan penarikan dana JHT telah menurunkan potensi pemanfaatan dana JHT bagi pembiayaan pembangunan nasional.

Oleh karena itu DSJN mendorong pemerintah segera melakukan revisi atas aturan yang sudah berjalan satu tahun tersebut. "Ada delapan konfederasi serikat pekerja yang mendukung perubahan atas kebijakan JHT ini," kata Ahmad.

Revisi menjadi jalan agar penyelenggaraan JHT kembali ke semangat pembentukan awal. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri bilang, berdasarkan usulan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional, revisi program JHT akan dilakukan dengan mengembalikan manfaat pencairan dana JHT menjadi 5 tahun 1 bulan. "Sama seperti masa Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)," katanya. Selain mengubah PP 60 tahun 2015, pihaknya juga akan direvisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 29 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.

Walau tak menolak perubahan aturan, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi berharap pemerintah memperhatikan potensi gejolak di lapangan bila revisi itu benar dilakukan. Apalagi menurutnya, dana JHT yang ditarik pekerja menjadi salah satu solusi menutup kebutuhan sehari-hari pasca seorang buruh di PHK. "Konsepnya ideal, namun kondisi ekonomi tidak begitu. Pikiran pekerja masih untuk hari ini," ujarnya.

Sementara itu Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar melihat saat ini adalah momentum yang tepat untuk melakukan revisi kebijakan penyelanggaran JHT. Namun perlu sosialisasi matang agar tidak terjadi gejolak di lapangan. "Jangan sampai tidak ada sosialisasi seperti dalam peraturan sebelumnya," katanya.

Selain berharap perubahan aturan, sosialisasi menjadi kata kunci yang akan dilakukan BPJS Ketenagakerjaan agar pencairan JHT turun tahun depan. Klaim JHT diakui memang mengalami lonjakan seiring berlakunya PP Nomor 60 Tahun 2015. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengatakan, rata-rata klaim JHT setiap bulan tahun ini mencapai Rp 1,5 triliun.

Total klaim JHT sejak Januari hingga November 2016 mencapai Rp 17,1 triliun, sehingga pada akhir tahun diperkirakan total klaim JHT akan mencapai di atas Rp 18 triliun. Angka itu lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang sebesar Rp 16 triliun. "Walau realisasi nanti mencapai Rp 18 triliun, tidak masalah karena tidak mengganggu likuiditas," katanya.

Klaim JHT Sepanjang 2016

Bulan Jumlah Klaim Nilai Klaim (Rp triliun)
Januari 206.952 1,522
Februari 208.762 1,639
Maret 221.865 1,703
April 206.13 1,614
Mei 182.284 1,587
Juni 201.57 1,730
Juli 117.081 1,039
Agustus 177.983 1,621
September 169.023 1,570
Oktober 166.327 1,567
November 176.861 1,599

Sumber: BPJS Ketenagakerjaan

Agus berharap seiring perubahan aturan penyelenggaraan JHT, maka klaim pencairan JHT akan turun tahun depan. " Asumsi klaim JHT tahun depan sebesar Rp 16 triliun," kata Agus.

Selain perubahan aturan, sosialisasi dan edukasi akan dilakukan agar pekerja tidak mencairkan JHT sebelum waktunya. Sebab berdasarkan temuan di lapangan, 5% dari para pekerja yang mengundurkan diri dan mencairkan JHT, telah kembali bekerja.

Bahkan dari 42.041 peserta yang kembali bekerja setelah mencairkan JHT, 6.003 orang diantaranya kembali bekerja di perusahaan yang sama. Sisanya kembali bekerja di perusahaan yang berbeda, namun tabungan masa depannya telah habis terkuras. Pencairan dana JHT juga didominasi peserta dengan masa kepesertaan satu tahun hingga lima tahun dan lima tahun hingga 10 tahun. Ini menunjukkan bahwa orang tersebut masih dalam usia produktif.

Menurut Agus, di negara manapun, JHT tidak boleh diambil sebelum memasuki usia pensiun atau meninggal dunia. Jika aturan JHT dikembalikan ke aturan sebelumnya yaitu PP Nomor 46 Tahun 2015, diperkirakan klaim JHT akan turun hingga di bawah Rp 500 miliar per bulan.

Selain menargetkan penurunan JHT, BPJS Ketenagakerjaan juga mentargetkan pertumbuhan dana kelolaan tahun depan sebesar 15%. Jika tahun ini, target dana kelolaan Rp 260 triliun, pada akhir tahun depan ditargetkan mencapai Rp 299 triliun. Jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan juga ditargetkan tumbuh 15% menjadi 25 juta pada tahun depan.

Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI Hasbullah Thabrany mengatakan di banyak negara, dana JHT dimanfaatkan untuk investasi secara efektif. Namun di Indonesia, dana tersebut kurang dimanfaatkan dengan baik dan nilainya juga masih minim. Ia mencontohkan, di Malaysia dana JHT lebih dari Rp 1.500 trilun dan di Singapura lebih dari RP 4.000 trilun. "Jadi kita memang belum efektif menjalankan program ini," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×