kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45916,64   -18,87   -2.02%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Investasi manufaktur menurun, serapan tenaga kerja makin landai


Minggu, 10 November 2019 / 16:55 WIB
Investasi manufaktur menurun, serapan tenaga kerja makin landai
ILUSTRASI. Pekerja memproduksi sepatu untuk diekspor


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren realisasi investasi pada sektor manufaktur terus menurun. Penurunan investasi tersebut berimbas pada daya serap tenaga kerja yang juga semakin kecil. 

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada sektor manufaktur sebesar Rp 147,3 triliun sepanjang Januari-September 2019. 

Angka investasi tersebut menurun dibandingkan Rp 274,7 triliun pada periode yang sama tahun 2017 dan Rp 222,3 triliun pada periode yang sama tahun 2018. 

Lantas, serapan tenaga kerja dari realisasi investasi juga makin mengecil. Berdasarkan laporan BKPM, serapan tenaga kerja Januari-September 2019 sebesar 703.296 orang. 

Serapan tersebut lebih kecil dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yaitu mencapai 704.813 orang.

Baca Juga: Apa yang membuat Indonesia kalah molek dari Vietnam dan Thailand?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai menurunnya kemampuan investasi menyerap tenaga kerja sejalan dengan kian bergesernya investasi dari sektor sekunder atau manufaktur kepada sektor tersier atau jasa. 

Januari-September 2019, investasi pada sektor tersier sudah mencapai Rp 354,6 triliun. Sementara sepanjang 2018, investasi sektor tersier mencapai Rp 366,9 triliun, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 293,3 triliun.

“Investasi di sektor sekunder semakin ditinggalkan karena sektor ini semakin tidak memberikan insentif bagi investor, justru menyuguhkan banyak masalah,” tutur Heri, Minggu (10/11). 

Masalah tersebut di antaranya, sulitnya akses lahan untuk investor dibandingkan negara tetangga lainnya, masalah ketenagakerjaan, biaya logistik, fiskal, hingga masalah regulasi daerah. 

Belum lagi, untuk memproduksi satu unit barang di Indonesia diperlukan lebih banyak modal dibanding barang yang sama yang diproduksi di negara lain. Ini terefleksi dari angka ICOR Indonesia yang masih tinggi.

Di sisi lain, lanjut Heri, sektor perdagangan digital, fintech, transportasi online, dan platform digital lainnya semakin diserbu konsumen dan pertumbuhannya mencapai dua kali dari pertumbuhan ekonomi nasional. 

“Jelas investor tergiur investasi ke sektor-sektor ini (tersier), namun sayangnya sektor ini kedap terhadap penyerapan tenaga kerja,” ujarnya. 

Oleh karena itu, Heri memandang, tumbuhnya sektor jasa di Indonesia tak ditopang oleh industri yang kuat. Padahal mestinya, kemajuan sektor jasa ditopang oleh industri yang kuat, di mana industri yang kuat disokong oleh SDM berkualitas. 

Baca Juga: Tren PMA di sektor manufaktur terus menurun

Ekonom senior Indef Didik J Rachbini menambahkan, melorotnya kinerja investasi dan industri manufaktur lantaran ketiadaan kebijakan atau kekosongan program induk dari pemerintah untuk mengatasi masalah investasi dan ekspor dan daya saing. 

“Mestinya ketika ada gejala ini harus diatasi dengan structural adjustment, seperti tahun 1980-an, yang cukup sukses. Pemerintah gagal menjalankannya pada periode pertama. Jika tetap dengan pola sebelumnya, maka khawatir investasi tetap seperti ini dan ekspor terus tertinggal dibandingkan Thailand, Vietnam, dan  lainnya,” tutur Didik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×