kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia mungkin tempuh litigasi terpisah dengan Malaysia


Senin, 25 Maret 2019 / 14:29 WIB
Indonesia mungkin tempuh litigasi terpisah dengan Malaysia


Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah mempersiapkan langkah berperkara dengan Uni Eropa terkait rencana larangan terhadap penggunaan minyak sawit Indonesia di benua biru tersebut. Persiapan ini menyusul Sidang Parlemen Uni Eropa yang berlangsung mulai hari ini, Senin (25/3) hingga Kamis (28/3) mendatang.

Indonesia mengantisipasi jika nantinya Parlemen Eropa menyetujui rancangan kebijakan bertajuk Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II) yang diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 lalu.

Staf Khusus Percepatan Program Prioritas Kementerian Luar Negeri Peter Gonta mengatakan, belum ada keputusan apa pun terkait rencana litigasi ke Uni Eropa tersebut. Sebab, pemerintah Indonesia masih menanti hasil akhir dari Sidang Parlemen Uni Eropa.

"Sidang ini bisa menghasilkan larangan, atau bisa juga sidang diundur ke 15 April, atau menunggu mereka pemilu parlemen. Kita tidak tahu dan masih akan melihat 1-3 hari ke depan ini," ujar Peter usai mengikuti Pembahasan tentang Diskriminasi Uni Eropa terhadap Kelapa Sawit di kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Senin (25/3).

Sambil menunggu, Peter mengatakan, parlemen Indonesia yaitu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo juga telah berkirim surat ke Kepala Parlemen Uni Eropa. Hal ini sebagai upaya parlement-to-parlement dari Indonesia untuk berdiplomasi dengan parlemen Uni Eropa.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menegaskan, pemerintah Indonesia tidak akan tinggal diam terhadap langkah diskriminatif Uni Eropa.

Lantas, pemerintah pun mulai menyiapkan rencana dan strategi untuk menempuh litigasi melalui World Trade Organization (WTO) jika Parlemen Uni Eropa menyepakati kebijakan larangan sawit tersebut.

Adapun Malaysia, kata Oke, juga berencana menempuh langkah litigasi. Namun, kemungkinannya Indonesia dan Malaysia akan menggugat secara terpisah dengan menggunakan strategi masing-masing.

"Kita akan lihat mitra kita Malaysia akan seperti apa. Siapa law firm yang mereka tunjuk dan sebagainya karena (strategi) kita harus saling melengkapi," ujar Oke dalam kesempatan yang sama.

Asal tahu saja, pada 13 Maret lalu, Komisi Eropa meloloskan aturan pelaksanaan atau delegated regulations dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Komisi Eropa menyimpulkan, perkebunan kelapa sawit Indonesia telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global.

Aturan ini lah yang akan dibahas dalam Sidang Parlemen Uni Eropa. Jika disepakati, aturan ini akan segera berlaku sehingga pemerintah Uni Eropa akan menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah hingga 0% pada 2030.

Adapun, Peter menduga, langkah Uni Eropa tersebut tak semata-mata lantaran persoalan lingkungan dan keberlanjutan (sustainability). "Pertanyaannya, mereka mau ban (larang) ekspor kelapa sawit kita, apakah mereka mau mencoba menurunkan balance of trade? Itu bisa jadi satu hal," kata dia.

Pernyataan Peter tersebut mengacu pada data Kementerian Perdagangan yang mencatat sepanjang 2018 lalu, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa sebesar US$ 17,1 miliar, sedangkan nilai impor US$ 14,1 miliar.

Ekspor Indonesia ke Uni Eropa juga meningkat 4,59% dengan neraca perdagangan surplus bagi Indonesia selama lima tahun terakhir. Sementara, nilai investasi Uni Eropa di Indonesia tercatat senilai US$ 3,2 miliar pada 2017. Total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa mencapai US$ 31,2 miliar atau naik 8,29% dibandingkan periode yang sama tahun 2017.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×