kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,23   6,87   0.74%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indef: Korporasi mesti tetap hati-hati kelola risiko utang luar negeri


Minggu, 21 Juli 2019 / 15:19 WIB
Indef: Korporasi mesti tetap hati-hati kelola risiko utang luar negeri


Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengelolaan utang luar negeri (ULN) oleh korporasi dinilai makin membaik. Hal itu ditunjukkan Bank Indonesia (BI) melalui tingkat kepatuhan korporasi terhadap pemenuhan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian (KPPK) yang menunjukkan tren meningkat sejak awal diimplementasikan 2015 lalu. 

BI mencatat, kepatuhan korporasi meningkat pada tiga kewajiban utama untuk memenuhi KPPK, yaitu kewajiban lindung nilai, pemenuhan rasio likuiditas minimum, dan kewajiban peringkat utang.

Kepatuhan terhadap kewajiban lindung nilai untuk periode kewajiban sampai dengan tiga bulan ke depan mencapai rata-rata 89,8%, sedangkan untuk periode 3-6 bulan ke depan tingkat kepatuhan rata-rata 93,3%. Kewajiban rasio likuiditas minimum juga meningkat yaitu rata-rata 87,8, sedangkan tingkat kepatuhan terhadap kewajiban peringkat utang mencapai 74,7%. 

Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, memandang pemenuhian KPPK oleh korporasi memang sangat penting. Pasalnya, risiko ULN swasta juga besar seiring dengan pertumbuhan utang yang juga makin tinggi. 

“Kenaikan ULN swasta perlu dicermati karena besarnya kebutuhan untuk refinancing (pembayaran utang jatuh tempo) dan bunga, khususnya pada BUMN. Sementara risiko fluktuasi kurs masih tinggi dan tertahannya bunga acuan Fed rate membuat cost of borrowing masih mahal,” ujar Bhima, Minggu (21/7). 

Korporasi, lanjutnya, memang mesti mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri, melakukan hedging atau lindung nilai secara berkala, mendiversifikasi sumber pembiayaan yang rendah risiko, serta mendorong kinerja sektor yang berorientasi pada penerimaan ekspor.

“Kondisi keuangan swasta juga perlu dijaga, jangan terlalu agresif ekspansi dengan menambah utang karena kondisi makro belum stabil. Ada potensi default jika swasta tidak hati-hati,” ungkap Bhima. 

Adapun, menurut perhitungan Bhima, batas toleransi nilai tukar rupiah bagi korporasi untuk memenuhi bayar utang berkisar Rp 16.000 per dollar AS. 

Di sisi lain, Bhima mengkritisi rasio pembayaran utang luar negeri atau debt to service ratio (DSR) Indonesia yang semakin tinggi. Kenaikan DSR mengindikasikan bahwa kinerja utang makin tak produktif dalam mendorong penerimaan valas, khususnya penerimaan dari ekspor.

“DSR naik menjadi 27.9% di kuartal satu 2019. DSR yang memburuk juga disumbang oleh pemerintah yang terlalu agresif terbitkan utang di tengah kondisi global dan domestik yang meningkat risikonya,” kata Bhima. 

Oleh karena itu, Bhima berpendapat, selain memenuhi prinsip kehati-hatian, pemerintah dan swasta juga perlu mengevaluasi efektivitas utang luar negeri. Ini untuk memastikan bahwa peningkatan utang sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi berorientasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. 

Berdasarkan catatan BI, ULN Indonesia per akhir Mei 2019 tercatat sebesar US$ 386,1 miliar atau tumbuh 7,4% secara year on year (yoy). ULN swasta (termasuk BUMN) mencapai US$ 196,9 miliar, tumbuh 11,3% yoy. 

ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian. Total pangsa ULN sektor-sektor tersebut mencapai 75,2% terhadap total ULN swasta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×