kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Guru Besar IPB: Data HGU masuk ranah privat yang dilindungi UU


Jumat, 15 Maret 2019 / 19:49 WIB
Guru Besar IPB: Data HGU masuk ranah privat yang dilindungi UU


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah diminta melindungi data Hak Guna Usaha (HGU) sawit karena bersifat privat. Persoalan ini sempat mencuat pasca Calon Presiden Joko Widodo menyinggung keberadaan lahan HGU milik capres Prabowo Subianto saat debat calon presiden belum lama ini. Akibat pernyataan tersebut, sejumlah pihak meminta agar kepemilikan HGU dibuka ke publik. Namun ternyata hal tersebut tidak bisa serta merta dilakukan.

Guru Besar IPB bidang ahli Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) Budi Mulyanto MSc mengatakan, tidak seluruh data Hak Guna Usaha (HGU) sawit bisa dibuka ke publik karena ada kepentingan privat di dalamnya yang secara hukum dilindungi oleh undang-undang.

"Data-data umum  mengenai luasan dan izin HGU yang telah diberikan bisa saja menjadi data publik. Namun tidak etis dan tidak ada perlunya publik mengetahui data privat seperti titik kordinat HGU perusahaan. Apalagi sampai meminta semua dokumen termasuk file SHP sebagai data publik,” kata Budi.

Mantan Dirjen Pengadaan Tanah pada Kementerian ATR/BPN ini juga mengingatkan, prosedur yang ditempuh korporasi untuk mendapatkan HGU bukan perkara yang mudah. Ada  proses perizinan yang selektif dan panjang di dalamnya serta melibatkan semua pihak termasuk masyarakat ulayat. Ia bilang, hal ini harus dihormati semua pihak.

Menurutnya, informasi yang tidak boleh diungkapkan secara bebas itu telah diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Aturan lainnya yakni Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009  tentang Kearsipan; Pasal 34 dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pemberian HGU di bidang Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. “SK HGU bersifat privat dan tidak dapat diberikan ke pihak lain, karena bersifat hak pribadi sebagaimana dijamin dalam peraturan perundang-undangan,” katanya.

Menurut Budi Mulyanto, hal itu sesuai dengan Pasal 187 dan Pasal 190 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Jadi, kata Budi Mulyanto, jika ada pihak lain yang mendesak BPN untuk membuka data soal HGU dipastikan tidak akan diberikan.

Sebab BPN sebagai lembaga negara akan bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. “Mau dipaksa kayak apa dia (BPN) pasti tidak akan mau membuka informasi itu. Karena ada UU yang mengatur soal itu. Karena (informasi) itu otoritasnya yang punya data. BPN sama sekali tidak menyalahi undang-undang,” tegasnya.

BPN memang merupakan lembaga publik, tapi informasi soal HGU itu bersifat privat. “Jadi ini tidak ada urusannya dengan karena sawit merupakan komoditas strategis atau bukan, tapi karena (informasi) ini sifatnya privasi. Informasi itu sifatnya privasi di mana orang lain tidak bisa leluasa mengetahuinya,” papar Budi Mulyanto.

Pengamat hukum Kehutanan dan lingkungan Sadino menilai, pemerintah tidak perlu membuka data HGU perkebunan sawit seluruhnya karena rawan dijadikan sebagai alat kampanye hitam.

Di sisi lain, negara juga wajib melindungi banyak kepentingan hukum lain terkait kerahasiaan pemerintah provinsi dan investasi. Salah satunya agar kepercayaan kreditor terhadap dunia usaha tidak menurun karena selama ini HGU juga dijaminkan.

"Jika semua data HGU dibuka, maka kepercayaan investor terhadap dunia usaha di Indonesia menjadi berkurang," kata Sadino.

Sebenarnya data umum mengenai keterbukaan HGU sudah ada yang bisa di akses publik. Data HGU tersebut menyangkut luasan perkebunan, tanggal penerbitan, nomor penerbitan dan data umum lainnya. Hanya saja, permintaan kelompok sipil untuk mengakses semua data HGU terkait semua dokumen termasuk  file SHP dan peta koordinat sangat berlebihan.

“Untuk kepentingan apa seluruh data itu harus bisa diakses. dalam industri sawit selama ini, ujung-ujungnya data ini hanya akan dipergunakan sebagai alat kampanye hitam,"imbuhnya.

Kalau ada LSM yang mengaku mewakili masyarakat sipil atau masyarakat yang berkonflik dalam kasus  per kasus pengajuan itu bisa saja dilakukan, namun tetap ada mekanisme eksekusi/putusan.

Dalam putusan/ eksekusi yang sering  menjadi masalah adalah karena yang digugat hanya BPN. Sedangkan pihak-pihak seperti korporasi sawit lain sebagai pemegang tidak pernah digugat.

“Hal ini menyulitkan karena pemegang HGU, pasti akan  keberatan dengan putusan BPN. Pada sisi lain,  BPN hanya menguasai dokumen, tetapi  lahan telah menjadi hak privat sampai selesai masa berlaku selesai," katanya.

Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), HGU ialah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.HGU diberikan untuk masa berlaku paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.

Setelah jangka waktu HGU dan perpanjangannya selama 25 tahun telah berakhir, pemegang hak dapat diberikan pembaruan HGU di atas tanah yang  sama untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.

HGU hanya dapat diberikan kepada warga negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sementara untuk mendapatkannya, harus memiliki izin lokasi dari pemerintah daerah (Pemda) dan memiliki rencana pengusahaan tanah jangka pendek maupun panjang.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×