kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,19   -7,17   -0.77%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom UI: Industri manufaktur perlu banyak terobosan untuk perkuat daya saing


Rabu, 21 Agustus 2019 / 16:40 WIB
Ekonom UI: Industri manufaktur perlu banyak terobosan untuk perkuat daya saing
ILUSTRASI. Lana Soelistianingsih, Chief Economist Samuel Sekuritas


Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inovasi melalui pemanfaatan teknologi dan efisiensi proses produksi akan menjadi kunci bagi penguatan daya saing industri manufaktur di dalam negeri.

”Kalau mau inovasi ya teknologi walaupun pasti ada disrupsi di situ. Memang akan lebih efisien menggunakan teknologi dan jadi satu-satunya jalan,” jelas Ekonom Universitas Indonesia Lana Sulistyaningsih dalam siaran persnya, Rabu (20/8).

Selama dua tahun terakhir kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB nasional memang terus menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut di tahun 2018, sektor ini hanya berkontribusi 19,82% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 14.837 triliun. 

Sementara pada tahun sebelumnya industri manufaktur menyumbang 21,22% dari PDB RI sebesar Rp 13,588 triliun. ”Yang perlu jadi perhatian adalah pertumbuhan sektor manufaktur yang melambat. Jadi bukan pada prosentase kontribusi terhadap PDB saja yang perlu diwaspadai,” ujarnya.

Baca Juga: LPEI siapkan akses untuk pembiayaan ekspor

Lana menambahkan banyak hal yang membuat daya saing industri nasional tidak solid. Dan masalah terbesar bukan berasal dari pelaku usahanya, melainkan lingkungan bisnis yang menciptakan biaya mahal.  

”Beberapa faktor yang membuat biaya produksi mahal adalah aspek non teknis seperti pungli, macet, kadang ada bajing loncat. Biaya itu bisa mencapai 10% dari  biaya produksi,” tambahnya.

Lana tidak melihat harga energi menjadi faktor utama yang menurunkan daya saing industri nasional. Karena harga energi cenderung stabil dan kontraknya jangka panjang. Seperti halnya gas bumi yang sesungguhnya lebih kompetitif dan efisien sebagai sumber energi.

Baca Juga: Ditjen Perdagangan Luar Negeri dipindah ke Kemenlu, ini respon Menlu

”Problem industri kita bukan soal harga gas atau sumber energinya. Harga gas itu nomor sekian lah ya. Yang penting fokuskan dulu pada perbaikan industri,” ujarnya.

Dalam riset yang dirilis Bank Dunia (World Bank), rangking kemudahan bisnis Indonesia saat ini level 73. Jauh lebih baik dibandingkan level 123 pada 2014 saat Jokowi kali pertama memimpin.

Level tersebut masih jauh di bawah Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Bahkan kalah dibandingkan Vietnam. ”Dari 10 parameter penilaian, kita hanya unggul dua parameter dari Vietnam. Rangking di peringkat 60,” Lana menerangkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×