kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom menilai pengenaan bea masuk anti dumping besi dan baja akan kontra produktif


Senin, 25 Maret 2019 / 18:38 WIB
Ekonom menilai pengenaan bea masuk anti dumping besi dan baja akan kontra produktif


Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memperpanjang pengenaan bea masuk anti dumping pada sejumlah impor produk besi dan baja. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Kementerian Keuangan (Kemkeu) menerbitkan beberapa aturan pendukung. 

Pertama, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping terhadap Impor Produk H section dan I section dari Negara Republik Rakyat Tiongkok.

Kedua, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping terhadap Impor Produk Canai Lantaian dari Besi atau Baja Bukuan Paduan dari Negara Republik Rakyat Tiongkok, India, Rusia, Kazkhstan, Belarusia, Taiwan, dan Thailand.

Sebelumnya, Hengky Purwoko pengusaha anggota Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) telah mendesak Kementerian Keuangan untuk menerbitkan aturan-aturan bea masuk anti dumping terhadap produk baja, terutama yang berasal dari China.

"Kami di industri baja masih terengah-engah karena tindakan dumping dari luar yang membuat baja asing banyak masuk," ujar Hengky belum lama ini.

Merespon keluhan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku memahami situasi industri baja saat ini yang digempur persaingan dengan produsen China. Menurutnya, persoalan ini telah menjadi pembahasan geopolitik lantaran tekanan yang sama turut dialami oleh industri baja di negara maju.

"Produksi RRT (China) memang sudah merajalela di seluruh dunia. Jepang, Korea, Kanada, dan Eropa juga sama terengah-engah," ujar Sri Mulyani.

Kendati demikian, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai, pengenaan BMAD cenderung bersifat kontra produktif. Pasalnya, pengenaan BMAD tak hanya mengerem masuknya produk baja dari negara-negara yang dikenakan, tetapi juga dari negara lain.

"Saya juga tidak tahu kenapa, tapi kecederungannya begitu. Masalahnya, ini kan input untuk produksi yang dibutuhkan untuk industri kita juga," kata Fithra kepada Kontan.co.id, Senin (25/3).

Menurut Fithra, kecenderungan ini turut berpengaruh meningkatkan biaya produksi industri, khususnya industri manufaktur. Lantas, kinerja industri manufaktur pun terus melesu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kinerja industri manufaktur besar dan sedang selama 2018 naik sebesar 4,07% secara tahunan, melambat dibanding pertumbuhan pada tahun 2017 yaitu 4,74%.

Dari segi pertumbuhan ekonomi, industri manufaktur hanya mencetak pertumbuhan sebesar 4,27% tahun lalu. "Memang (perlambatan industri manufaktur) itu banyak faktornya, tapi salah satunya yaitu kenaikan biaya produksi," lanjutnya.

Fithra tak menampik, penerapan BMAD berdampak positif untuk menekan impor. Namun, ia berpendapat, pemerintah juga mesti mengevaluasi lagi kebijakan post-border yang diterapkan. "Kebijakan post border ini lebih banyak berpengaruh ke neraca dagang nantinya ketimbang BMAD," ujarnya.

Kebijakan tersebut berpotensi membuat importir dengan mudah memasukkan produk tanpa pengawasan yang ketat. Oleh karena itu, pemerintah mesti betul-betul mengevaluasi dampak dan efektivitas dari kebijakan post border maupun BMAD.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×