kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

CITA: Penurunan tarif PPh Badan bukan sekadar soal kompetisi


Selasa, 22 Januari 2019 / 20:36 WIB
CITA: Penurunan tarif PPh Badan bukan sekadar soal kompetisi


Reporter: Grace Olivia | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah mengkaji penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) terhadap badan atau perusahaan. Hal ini dipertimbangkan salah satunya lantaran semakin banyak negara-negara di dunia yang menurunkan tarif pajak perusahaan untuk menarik minat investasi yang semakin besar.

Kendati demikian, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, isu kompetisi tarif pajak dengan negara-negara tetangga maupun negara lainnya tak begitu relevan untuk dijadikan alasan utama pemerintah menurunkan tarif PPh Badan. Sebab, penurunan tarif hanya mungkin dilakukan jika basis pajak dan kepatuhan telah meningkat.

Bicara basis pajak, Yustinus berpendapat, pemerintah telah menikmati buah dari program pengampunan pajak alias tax amnesty. Dari program yang digelar pada 2016 lalu tersebut, pemerintah memperoleh perluasan basis data pajak melalui deklarasi harta yang nilainya mencapai Rp 4.856 triliun, terdiri dari deklarasi luar negeri Rp 1.031 triliun dan deklarasi dalam negeri Rp 3.834 triliun.

Sementara, soal penerimaan, data per akhir tahun lalu telah menunjukkan adanya perbaikan. Yaitu, penerimaan pajak sanggup tumbuh sekitar 15% di tengah pertumbuhan ekonomi yang terbilang stagnan.

Terkait isu kompetisi, Yustinus menilai tarif PPh di Indonesia saat ini masih tergolong kompetitif di kawasan. Dengan catatan, ini merupakan perbandingan tarif nominal bukan beban pajak yang sebenarnya ditanggun alias effective tax rate yang notabene bisa lebih rendah.

"Terutama untuk PPh Orang Pribadi, tarif tertinggi kita 30%, sedangkan Vietnam, Thailand, Filipina 37%, China 45%, Korsel 42%," ujar Yustinus dalam cuitannya melalui akun Twitter pribadi yang dibagikan kepada Kontan.co.id, Selasa (22/1)

Memang, untuk tarif PPh Badan Indonesia sebesar 25%, lebih tinggi dibanding Singapore, Kamboja, Thailand. Rerata tarif PPh negara OECD sendiri sebesar 23,9%.

Namun, Yustinus menunjukkan, dibandingkan negara BRICS yang sebaya dengan Indonesia, tarif PPh Badan di dalam negeri saat ini hanya lebih tinggi dari Rusia yang memiliki tarif 20%. PPh badan Indonesia pun masih sama besar dengan China dan India, bahkan lebih rendah dari Afrika Selatan yang 28,5%.

Kemudian, Yustinus mengajak pula untuk membandingkan tarif pajak dengan beberapa negara Eropa Utara (Skandinavia). Tarif PPh Orang Pribadi di Swedia mencapai 61%, Denmark 58%, Finlandia 51%. Sementara negara Eropa lain seperti Prancis mematok tarif 45%, Jerman 47%, dan Turki 35%.

"Adagium 'tarif pajak tinggi bikin modal lari dan rakyat malas' tidak terbukti di Eropa Utara. Di sana, tarif pajak tinggi, tax ratio tinggi, produktivitas tinggi. Karena revenue dan spendingnya berkualitas. Pemerintahannya komit pada hak warga negara. Demokratis, aman, bahagia," tutur dia.

Oleh karena itu, Yustinus mengingatkan akan penurunan tarif PPh Badan mesti dilakukan dengan memahami konteks sepenuhnya dan tanpa gegabah. Sebab, penurunan tarif menjadi rendah begitu saja (race to the bottom) dalam situasi dan kondisi perpajakan dalam negeri saat ini hanaya akan membuat Indonesia kalah.

"Pajak jebol, APBN defisit, investasi dan pertumbuhan enggak bakal naik. Maka motifnya jangan itu. Perbaiki sistem perpajakan secara komprehensif," lanjutnya.

Yustinus pun mengapresiasi langkah Kementerian Keuangan meningkatkan transparansi perpajakan secara bertahap. Khususnya sejak Pembaruan Core Tax System atau Sistem Inti Perpajakan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018.

Namun, lebih lanjut, masih ada pekerjaan rumah pemerintah yang menanti yakni terkait perbaikan regulasi perpajakan. Terutama melalui revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU PPh, UU PPN (pajak pertambahan nilai), hingga UU PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

"Ini bukan pekerjaan mudah. Di awal pemerintahan, Presiden Jokowi memang cukup ambisius. Tapi tahun 2016 sudah mulai sadar dan selanjutnya memahami problem dasarnya sehingga ada reformasi perpajakan," tandas Yustinus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×