kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45940,39   -23,34   -2.42%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI: Pelonggaran GWM berpotensi menambah likuiditas perbankan hingga Rp 100 triliun


Jumat, 05 Juli 2019 / 20:29 WIB
BI: Pelonggaran GWM berpotensi menambah likuiditas perbankan hingga Rp 100 triliun


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak awal Juli lalu, Bank Indonesia (BI) kembali membuat kebijakan akomodatif dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin (bps). Dampak dari pelonggaran tersebut, menurut BI, akan menambah likuiditas perbankan hingga sebesar Rp 100 triliun.

Seperti yang diketahui, BI menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps atau 0,5% untuk bank umum konvensional maupun syariah. Lantas, rasio kewajiban GWM bank umum konvensional saat ini 6% dari dana pihak ketiga (DPK), sedangkan bank syariah menjadi 4,5% dari DPK.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan pelonggaran rasio GWM tersebut secara langsung dapat menciptakan likuiditas tambahan bagi perbankan sebesar Rp 25 triliun.

“Tapi kalau hitung dengan rumus pelipatgandaan uang, kurang lebih potensi pertambahan likuiditas bisa mencapai Rp 100 triliun,” kata Perry, Jumat (5/7).

Perhitungan tersebut, menurut Perry, menggunakan teori money multiplier atau penggandaan uang. Berdasarkan teori tersebut, koefisien pengganda uang bergantung pada salah satunya pada rasio uang yang dicadangkan (reserve ratio) oleh perbankan.

Rumusnya, semakin kecil rasio uang yang dicadangkan maka semakin besar koefesien pengganda uang. Rasio GWM yang kecil berarti akan semakin banyak uang giral yang tercipta dari setiap rupiah uang primer yang disimpan oleh bank.

Perry mencontohkan, penurunan GWM sertam merta menambah likuiditas pada perbankan sebesar Rp 25 triliun. Likuiditas tersebut menambah potensi perbankan menyalurkan kredit kepada masyarakat dan dunia usaha sehingga perekonomian bergerak.

Hasil dari pergerakan ekonomi tersebut pada akhirnya kembali pada perbankan dalam bentuk dana pihak ketiga (DPK) yang kemudian disalurkan lagi dalam bentuk kredit. “Dan seterusnya, ini akan berputar terus,” pungkasnya.

Dengan demikian, Perry berharap kebijakan yang akomodatif ini dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

Meski kebijakan suku bunga acuan belum turun, namun ketersediaan likuiditas dipastikan tetap cukup untuk mengakomodasi aktivitas ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

Perry bilang, BI terus memantau kondisi perekonomian domestik maupun global. “Meski tensi perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China mulai turun, bukan berarti ketidakpastian sudah hilang,” katanya.

Sentimen perang dagang menjadi penting sebab akan menjadi penentu arah pertumbuhan ekonomi AS yang kemudian mempengaruhi kebijakan Federal Reserve terkait arah moneternya.

“Jika ada prolong trade war, ekonomi AS akan turun, kemungkinan The Fed bisa turunkan suku bunga tahun ini satu kali sebesar 25 bps dan tahun depan dua kali,” kata Perry.

Namun jika perang dagang mengalami perkembangan positif, Perry menduga The Fed belum akan menurunkan suku bunga acuannya tahun ini dan baru akan menurunkan di tahun depan sebesar 25 bps.

“Ini hal-hal yang akan dilihat dalam RDG (Rapat Dewan Gubernur BI) mendatang,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet Using Psychology-Based Sales Tactic to Increase Omzet

[X]
×