kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Anggota Komisi XI Misbakhun tagih sense of crisis Sri Mulyani di masa pandemi


Selasa, 30 Juni 2020 / 22:14 WIB
Anggota Komisi XI Misbakhun tagih sense of crisis Sri Mulyani di masa pandemi
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020). Dalam rapat tersebut Menkeu bersama anggota Komite Sistem Stabilitas Keuangan (KSSK) memaparkan kep


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengkritik Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang masih menggunakan pola lama dan kurang sense of crisis dalam menghadapi memburuknya perekonomian akibat pandemi Covid19.

Legislator Partai Golkar itu pun mendesak Kemenkeu bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) bisa duduk bersama menyajikan skema terbaik untuk menyelamatkan ekonomi nasional.

“Apakah mekanisme dana penempatan yang saat ini itu adalah satu-satunya cara kita untuk mengatasi permasalahan ekonomi akibat dari Covid-19," ujar Misbakhun dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Kemenkeu dan jajaran OJK, Senin (29/6).

Baca Juga: Sri Mulyani ungkap tiga masalah ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19

Dalam raker itu, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah telah menempatkan dana tahap pertama sebesar Rp 30 triliun di empat anggota Himpunan Bank Negara (Himbara), yakni Bank Mandiri, BRI, Bank BNI, dan Bank BTN dengan bunga 3,42%. Tujuan penempatan dana negara itu adalah mengakselerasi pemulihan ekonomi dan sektor riil melalui dukungan likuiditas perbankan.

Namun, Misbakhun menilai penempatan dana itu belum menyelesaikan masalah yang ada. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu menganggap jurus Menkeu Sri Mulyani tersebut tak beda jauh dengan saat menghadapi krisis finansial global pada 2008. Padahal, krisis saat ini berbeda dibandingkan 2008 dan tidak bisa diatasi dengan kebijakan yang sama.

Misbakhun lantas merujuk pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat paripurna Kabinet Indonesia Maju (KIM) pada 18 Juni lalu yang penuh nada jengkel.

"Dalam pidato itu Presiden sudah mengatakan krisis, krisis dan krisis. Saya catat kalau tidak salah Presiden bicara krisis itu antara kalimat itu ada 12 atau 14 kali,” sebutnya.

Misbakhun juga merujuk temuan OJK tentang kenaikan non-performing loan (NPL) atau kredit macet akibat pandemi Covid-19. Data OJK memperlihatkan rasio NPL gross pada Mei lalu naik menjadi 3,01 persen.

Baca Juga: Sri Mulyani: Belanja kesehatan bukan cuma tanggung jawab Kementerian Kesehatan

“Pak Wimboh (Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, red) mengatakan di bulan Mei sudah ada kenaikan NPL,” ucap Misbakhun.

Artinya, pandemi Covid-19 telah menimbulkan masalah ekonomi lebih serius dibanding kondisi krisis keuangan global 2008 lalu. Namun, Misbakhun menganggap Kemenkeu masih menggunakan model penempatan dana yang meniru 2008.

"Kalau kita lihat sekarang dengan eskalasi masalah yang lebih serius, saya melihat dan belajar dari modelling negara-negara lain untuk menyelesaikan, mereka menyelesaikan krisis akibat pandemi itu dengan not a single policy," kata Misbakhun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×