kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Agus Martowardojo: Resesi mengancam, ini tantangan ekonomi ke depan


Senin, 03 Agustus 2020 / 14:11 WIB
Agus Martowardojo: Resesi mengancam, ini tantangan ekonomi ke depan


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Ancaman penyebaran corona atau Covid 19 nampaknya belum ada tanda-tanda akan berhenti. Banyak negara kini kembali menghadapi tantangan lanjutan yang serius  dalam menghadapi virus ini.

Ini nampak dari realisasi ekonomi kuartal II yang sudah diumumkan banyak negara. Realisasi ekonomi banyak negara pada kuartal II terperosok ke jurang resesi yang lebih parah jika dibandingkan kuartal pertama tahun ini.

Saat bersamaan, penyebaran Covid-19 masih mengancam. Tak pelak, progam pemulihan ekonomi bakal menghadapai tantangan besar. “Kunci pemulihan ekonomi saat ini adalah dengan disiplin menjalankan protokol kesehatan,” ujar  Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2013-2018 Agus Dermawan Wintarto (DW) Martowardojo dalam seminar daring Gerakan Pakai Masker: Ekonomi Indonesia di Ambang Resesi, Apa Solusinya?,  Senin (3/8) 

Seperti juga negara-negara lain: Indonesia saat ini kembali mengalami kondisi di ambang krisis. “Kondisi ini sudah dialami sejak 5 bulan sejak dihantam Covid-19. Kondisi ini sangat memprihatinkan,” ujar Agus yang juga pendiri  Gerakan Pakai Masker, 

Jika merujuk sejarah, kata Agus yang juga Menteri Keuangan periode 20 Mei 2020-18 April 2013, kondisi yang terjadi saat ini  seperti tahun tahun 1930.  Tahun itu,  global mengalam depresi besar (Great Depression). Ekonomi masuk jurang resesi.

Peristiwa yang dikenal dengan nama Depresi Besar atau Zaman Malaise dipacu anjloknya bursa saham New York pada akhir 1929 yang kemudian berujung ke resesi ekonomi parah.

Depresi bursa efek menyeret ekonomi negara industri hingga negara berkembang hingga hancur. Volume perdagangan internasional terpukul, pendapatan pajak hingga perseorangan anjlok. Kondisi depresi tersebut mulai mereda saat Perang Dunia II.

Kini, ekonomi global menghadapai ancaman dari pandemi corona.Banyak negara berlomba menahan kejatuhan ekonomi dengan mengguyurkan banyak stimulus. Termasuk Indonesia. "Kondisinya berat, untuk memulihkan butuh ekonomi sosial," ujarnya.  Program negara dengan banyak mengguyur bantuan sosial akan menopang ekonomi ke dalam jurang resesi.

Langkah kedua yang juga dilakukan adalah dengan mewujudkan realisasi anggaran pemulihan ekonomi atau PEN. Meski masih mini, kata dia, realisasi anggaran negara untuk PEN harus segera cair. Simplikasi aturan dilakukan, namun harus tetap transparan dan jelas. 

Ketiga, kata Agus, dalam kondisi saat ini, pebisnis harus dirangkul untuk menjalankan inisiatof. “Mereka tahu ada perubahan, dan mereka akan mengikuti,  menjalankan inisiatif, merangkul semua akan derap pemulihan ekonomi jadi kuat,” ujar dia, 

Indonesia, beberapa kali dihantam krisis yang membuat perekonomian melemah, salah satunya yang pernah terjadi pada tahun 1965.  Tahun itu, inflasi Indonesia mencapai 594%.

Tahun berikutnya, inflasi mencapai 635%. Nilai tukar rupiah lantas dilakukan penyederhanaan jumlah digit (redenominasi) pada pecahan rupiah tanpa mengurangi nilainya yakni dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.

Indonesia juga kembali dihantam krisis pada 1997-1998. Krisis kali ini juga tak kalah besar, karena pertumbuhan ekonomi kala itu tercatat minus 13%. Inflasi mencatat angka hingga 82%. Nilai tukar rupiah saat itu melonjak menjadi Rp 17.000  per dollar AS dari semula Rp 2.500. Saat itu, Indonesia mampu melewatinya. 

Sementara saat ini, kata Agus, efek pandemi  sampai berdampak sosial, selain ekonomi. Masyarakat tak bisa melakukan pertemuan, karena agar tetap di rumah. Ini menyusutkan konsumsi atau belanja. Ekonomi menjadi sulit tumbuh, bahkan tak sedikit yang kehilangan kesempatan kerja.

"Pandemi ini hanya akan berakhir apabila vaksin untuk Covid-19 ditemukan, ini tak bisa dalam waktu dekat," ujarnya

Agus Marto mengatakan pertumbuhan rata-rata PDB Indonesia dalam 5 tahun terakhir 5%. Sementara  kuartal I sebesar 2,97%. "Padahal kita baru mengumumkan adanya Covid-19 itu di awal Maret," katanya. 
Adanya tekanan ke  masyarakat, sosial-ekonomi akan membuat ekonomi Indonesia di Q2-2020 aja ekonomi  tumbuh negatif. “Saya  melihatnya bisa negatif 4%-6%," kata Agus memprediksi. 

Menurut bankir senior ini, pengendalian Covid-di RI belum banyak berarti. “Jika di negara lain, gelombang kedua, sudah melakukan kegiatan keras bukan hanya PSBB, tapi penutupan mutlak, Indonesia gelombang pertama belum selesai. Untuk itu kita harus sangat hati-hati. Perkembangan terakhir banyak klaster baru (Covid-19)," kata dia, 

Agus  menyebut, tahun 2018 dan 2019, defisit APBN tak pernah di angka 2,6%. Sekarang di tahun 2020 untuk mendukung komitmen penyelamatan Indonesia, kesehatan, keamanan sampai ekonomi pemerintah telah membuka defisit APBN tadinya di 1,76% di tahun 2020 sekarang melonjak 6,34%.

Ini artinya, ruang belanja dibuka oleh negara untuk menumbuhkan ekonomi. Agar terhindar dari krisisi, kata Agus, disiplin menjalankan protokol kesehatan mutlak. "Mesti tak mudah, ini adalah langkah yang harus dilakukan agar ekonomi tetap jalan," ujar Agus.

Pandemi mengubah semua tatatanan ke arah yang berbeda, new economy yang membuat perubahan dalam menjalankan bisnis hingga tatanan sosila, 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×