kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45982,54   -7,83   -0.79%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sejumlah isu sulit diakomodasi revisi UU Kepailitan


Rabu, 15 Agustus 2018 / 21:48 WIB
Sejumlah isu sulit diakomodasi revisi UU Kepailitan
ILUSTRASI. Ilustrasi Palu Hakim_Simbol Hukum dan Keadilan


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam naskah akademik revisi UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) setidaknya ada 17 poin penting yang hendak ditambah, atau dimasukkan dalam revisi. Namun, dalam perkembangannya, tak semua poin tersebut nyatanya bisa masuk.

"Naskah yang 2017 itu belum final, sekarang juga masih dalam proses pembahasan, targetnya bulan depan bisa difinalisasi," kata Sekretaris Tim Kelompok Kerja (Pokja) revisi Raymon saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (15/8).

Beberapa isu tersebut misalnya usul implementasi tes insolvensi yang disebut Raymon akan sulit masuk dalam beleid terbaru ini.

Alasan Raymon bahwa tak semua perusahaan bisa diakses laporan keuangannya. Tes insolvensi, sederhananya merupakan pembuktian awal apakah seorang debitur layak diajukan pailit.

Nah untuk mengukurnya, laporan keuangan perusahaan bisa jadi acuan. "Soal tes insolvensi memang akan sulit masuk ke revisi karena misalnya tak semua laporan keuangan perusahaan bisa diakses publik," kata Raymon.

Raymon, bilang sejatinya usulan adanya tes insolvensi ini dimasukkan dalam naskah akademik sebelumnya guna mencegah perusahaan yang sebelumnya masih sehat jatuh pailit.

"Semangatnya kan agar pengajuan pailit ini tak terlalu mudah untuk diajukan. Makanya perusahaan bisa dilihat laporan keuangannya, cash flow-nya, kalau masih bagus tapi ada permohonan dari kreditur yang pegang tagihan kecil dan dikabulkan, kan kreditur lain yang tagihannya lebih besar akan dirugikan dengan kondisi pailit," jelas Raymon.

Selain isu soal tes insolvensi, usul lain yang dipastikan tak akan masuk dalam revisi beleid kepailitan ini adalah soal kepailitan lintas batas (cross border insolvency).

Soal ini, Raymon bilang kendalanya ada di ihwal politik hukum internasional. Oleh karenanya hal ini tak bisa ditentukan sepihak oleh Indonesia, melainkan butuh pula kesepakatan dengan negara-negara lain.

"Cross border insolvency dipastikan tak masuk, sekalipun didorong mungkin akan dibuat dalam regulasi berbeda, atau melalui perjanjian, baik bilateral maupun multilateral," sambungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×