kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rencana pajak baru atas tanah rawan bermasalah


Kamis, 02 Februari 2017 / 10:22 WIB
Rencana pajak baru atas tanah rawan bermasalah


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) masih mengkaji perubahan skema pajak transaksi jual beli tanah dari menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menjadi capital gain tax. Kemkeu juga masih mengkaji disinsentif atas tanah menganggur melalui unutilized asset tax.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Goro Ekanto bilang, selama ini, arah kebijakan pajak tanah memang capital gain tax.

Capital gain tax untuk penjualan tanah bangunan. "Kalau beli harga sekarang, kemudian jual dengan harga lebih tinggi, selisihnya disebut capital gain," katanya kepada KONTAN, Rabu (1/2)

Menurut Goro, Peraturan Pemerintah No. 34/ 2016 tentang pajak penghasilan (PPh) pengalihan hak tanah dan bangunan sudah mengatur hal ini. Hanya tarif PPh final 2,5% dari nilai bruto pengalihan hak dan 1% untuk pengalihan hak atas rumah sederhana dan rumah susun sederhana masih berdasarkan NJOP.

Untuk unutilized asset tax, Goro mengatakan, definisi tanah menganggur juga masih rancu. Sebab, ada kemungkinan tanah kosong adalah tanah sengketa atau kemungkinan lainnya. Masih didiskusikan, katanya. Goro juga menyoroti apakah pajak ini akan memberatkan beberapa pihak, Misal tanah warisan, memberatkan atau tidak? ujarnya.

Peneliti pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji bilang, rencana ini dapat menciptakan persoalan lain, yaitu debat atas definisi lahan menganggur serta potensi perencanaan pajak (tax planning). Apalagi perhitungannya sulit diawasi.

Jika persoalannya ada pada kesenjangan kepemilikan lahan dan potensi laju harga yang tinggi akibat spekulasi, mekanisme capital gain tax bukan solusi tepat Tidak akan efektif mempengaruhi perilaku spekulan, ujarnya.

Karena itu, baiknya pemerintah mempertimbangkan pajak atas nilai tanah (land value tax/LVT). Secara umum, LVT hampir sama dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan tarif flat serta dikenakan atas aset, bukan transaksi.

Perbedaannya pada perhitungan dasar pengenaan pajak. LVT hanya melihat nilai tanah tanpa mempedulikan pemanfaatan lahan. Jika ada dua tanah di area sama, salah satu didirikan bangunan komersial dan satunya dibiarkan menganggur, kedua bidang tanah itu akan menanggung beban pajak yang sama, jelasnya. Sehingga beban pajak pemilik tanah tidak produktif akan terasa lebih berat karena tidak mendapatkan manfaat ekonomis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×