kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pukat UGM: KPK perlu atur standar korupsi PT


Rabu, 30 Agustus 2017 / 13:44 WIB
Pukat UGM: KPK perlu atur standar korupsi PT


Reporter: Teodosius Domina | Editor: Dessy Rosalina

KONTAN.CO.ID - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan korporasi sebagai tersangka korupsi mendapat apresiasi banyak pihak. Namun berbagai opini yang terus dibangun KPK dinilai sudah berlebihan dan cenderung menghakimi tersangka sebelum pengadilan digelar.

Seperti diungkapkan oleh Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar. Menurutnya, KPK juga harus memperhatikan dampak pada perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka, terutama jika status perusahaan tersebut adalah perusahaan terbuka yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).

“Karena dengan dia (KPK) banyak bicara tentang penyitaan dan sebagainya bisa membuat kepercayaan publik jatuh, apalagi itu perusahaan terbuka, akan merusak citra perusahaan dan membuat kerugian besar. Yang begitu-begitu harus dipikirkan,” ujar Zainal, dalam keterangan tertulis yang didapat KONTAN, Rabu (30/8).

Oleh karena itu, Zainal mendorong KPK agar memperbaiki standar proses penanganan kasus korupsi untuk pidana korporasi. Yakni bagaimana agar pidana korporasi tidak sampai merusak bisnis perusahaan. Termasuk standar perusahaan dapat di tetapkan sebagai tersangka korupsi korporasi.

Seperti diketahui, satu perusahaan yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka korporasi adalah PT Nusa Kontruksi Enjiniring (Tbk), dahulu PT Duta Graha Indah (DGI). DGI merupakan tersangka korporasi pertama sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

DGI diduga melakukan tindak pidana suap terhadap mantan anggota DPR RI dan mantan bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazarudin dalam proyek pembangunan rumah sakit Universitas Udayana, Bali pada tahun 2009-2010.

Nazarudin sendiri merupakan terpidana korupsi terkait berbagai proyek pemerintah. Melalui grup Permai miliknya, Nazarudin yang menguasai badan anggaran di DPR RI ketika partai Demokrat berkuasa, menebar lebih dari 160 proyek pemerintah kepada BUMN dan swasta.

Sebagai imbal balik, Nazarudin mengutip uang kompensasi antara 20%-40% dari nilai setiap proyek. Zainal meminta KPK tidak berhenti di kasus DGI. Menurutnya masih banyak kasus suap yang ditangani KPK saat ini melibatkan korporasi.

“Ada perusahaan yang dibuat untuk korupsi atau corruption vehicle namun belum ditetapkan sebagai tersangka. Tapi itu sebaiknya ditanyakan kepada KPK, mereka yang lebih tahu dapur penyidikan. Kalau dulu KPK belum pede menjadikan tersangka korporasi karena belum ada aturannya,” ujarnya.

Adapun beberapa kasus korporasi yang ditangani KPK dan sudah vonis diantaranya kasus suap yang dilakukan Presiden Direktur PT Sentul City Tbk Cahyadi Kumala terhadap Bupati Bogor Rahmat Yasin. Cahyadi terbukti bersalah dan divonis 5 tahun penjara.

Lalu berbagai kasus suap yang melibatkan berbagai perusahaan dibawah grup Permai milik Nazarudin. Diantara kasus-kasus korupsi yang melibatkan grup ini adalah proyek kawasan olahraga Hambalang yang dikelola PT Adhi Karya Tbk. Proyek yg merugikan negara hingga Rp 706 miliar itu hingga kini mangkrak. Mantan Direktur Operasional Adhi Karya Teuku Mohammad Noor pun sudah divonis 4,5 tahun oleh hakim tipikor.

Selain proses penanganan korupsi korporasi, Zainal menyarankan agar KPK membentuk badan pengelola aset. Badan ini ditujukan jika ada tersangka korporasi, maka asetnya dapat dikelola oleh badan tersebut. Tujuannya agar aset dan nilai perusahaan tersebut tidak anjlok.

“Dulu kita sudah mau godok aturan pengelolaan asset recovery yang didalamnya ada badan pengelolaan aset. Tapi tidak jadi juga sampai sekarang,” katanya.

Dengan adanya badan pengelola aset tersebut diharapkan, baik karyawan, investor maupun pihak ketiga yang tengah bekerjasama dengan perusahaan yang menjadi tersangka korupsi korporasi tidak dirugikan.

Jika tidak dikelola, lanjut Zainal, maka perusahaan itu akan hancur dan sahamnya terjun bebas. Akibatnya pihak ketiga dan investor yang tidak ikut serta dalam pengelolaan perusahaan ikut dirugikan.

“Implikasi seperti itu harus dipikirkan, karena itu tidak diatur detail dalam aturan pidana korporasi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×