kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pilkada 2018 dan indeks kerawanan


Selasa, 09 Januari 2018 / 11:30 WIB
Pilkada 2018 dan indeks kerawanan


| Editor: Tri Adi

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018 merupakan perhelatan terbesar dibandingkan dengan dua penyelenggaraan pilkada serentak sebelumnya, yakni 2015 dan 2017. Pasalnya, kontestasi elektoral 2018 melibatkan 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Bahkan di antaranya merupakan provinsi "raksasa" dengan penduduk terpadat: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.

Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada sekitar 158 juta penduduk akan terlibat dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Sebuah angka yang cukup tinggi lantaran hampir mencapai 80% dari total pemilih nasional. Sebagai perbandingan, pada pilkada serentak  2015 yang diikuti 269 daerah, jumlah pemilihnya sebanyak 96 juta orang. Sedangkan pada pilkada serentak 2017 kemarin yang dihelat di 101 daerah, jumlah pemilih yang terlibat hanya 41 juta pemilih saja.

Tak hanya itu, dari sisi anggaran juga cukup fantastis karena mencapai Rp 11,9 triliun. Ini jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan anggaran untuk pilkada serentak pada tahun  2015 yang mencapai Rp 7,1 triliun, atau pilkada serentak tahun lalu yang hanya Rp 4,2 triliun.

Wajar bila kemudian banyak yang menyebut pilkada serentak 2018 adalah parameter utama peta politik menuju pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019. Dengan lumbung suara yang berlimpah itu, kemenangan dalam hajatan demokrasi 2018 merupakan satu langkah menuju kemenangan pada Pilpres 2019.

Di sini, seluruh partai politik tentu akan memaksimalkan segala mesin politik dan menggunakan strategi terbaiknya untuk memenangi pertempuran pilkada. Inilah yang barangkali menjadi sebab mengapa pilkada serentak 2018 memiliki tingkat kerawanan cukup tinggi.

Berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP), pilkada serentak 2018 yang dirilis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada sejumlah daerah yang tergolong memiliki titik rawan. Faktor pemicu kerawanan tinggi di beberapa daerah berupa politik uang, keberpihakan petugas penyelenggara, kontestasi antarcalon, pemenuhan hak pilih warga, netralitas pegawai negeri sipil (PNS), penggunaan media sosial, dan penggunaan politik identitas.

Dari akumulasi seluruh aspek pemicu kerawanan yang ada, tiga provinsi yang dikategorikan paling rawan adalah Provinsi Papua, Provinsi Maluku, dan Provinsi Kalimantan Barat. Sementara untuk kabupaten/kota, terdapat enam daerah yang dinilai paling rawan, yakni Mimika, Paniai, Jaya Wijaya, Puncak (Papua), Konawe (Sulawesi Utara), dan Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur).

Sementara itu, terkait penggunaan politik identitas, ada 22 daerah yang masuk kategori titik rawan. Daerah tersebut terdiri atas delapan provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, serta Papua. Selain itu ditambah ada 14 daerah kabupaten/kota.

Indeks Kerawanan Pemilu sendiri disusun dari tiga aspek utama, yaitu penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi. Dari tiga aspek itu kemudian diturunkan menjadi 10 variabel dan 30 indikator sebagai alat ukur kerawanan. Indeks kerawanan yang dikeluarkan terdiri dari indeks rendah antara 0-1,99, indeks sedang 2,00-2,99, dan indeks tinggi 3,00-5.00.

Yang menarik, dari seluruh aspek pemicu kerawanan itu, politik identitas tergolong baru dan belum pernah menjadi indikator pada pilkada serentak sebelumnya. Aspek ini memang mendapat perhatian khusus dari pemerintah guna menghindari ketegangan akibat adanya sentimen suku, agama, ras dan antargolongan (sara) sebagaimana yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Tentu titik rawan dan potensi ancaman yang dikeluarkan Bawaslu patut diapresiasi. Ini penting sebagai upaya melakukan deteksi dini dan menyusun langkah antisipasi.

Peran parpol

Tentu selain para penyelenggara pemilu, pengawas, dan aparat keamanan, langkah deteksi dini dan menyusun antisipasi juga perlu dilakukan oleh partai politik. Mengapa partai politik? Sebagai lembaga demokrasi yang menjadi "kawah candradimuka" para calon kepala daerah, partai memiliki peran strategis dalam mengantisipasi segala bentuk kerawanan dalam pilkada.

Pertama, partai politik merupakan "perahu" bagi para kandidat yang akan berlaga dalam pilkada. Untuk mencegah secara dini terjadinya konflik dalam pilkada, setiap partai politik pengusung dapat melakukan "kontrak politik" terhadap sang calon yang berisi komitmen menghindari konflik dan penggunaan cara-cara politik kotor, seperti melancarkan program kampanye hitam ataupun politik sara.

Kedua, partai politik perlu kiranya melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat secara umum, konstituen ataupun tim sukses sang kandidat. Kesadaran untuk melakukan politik bersih dan tertib politik perlu dimulai dari partai sebagai lembaga demokrasi modern. Ini penting karena secara esensial, partai sejatinya memiliki fungsi untuk mencegah terjadinya konflik.

Merujuk pendapat Budiardjo (2003), selain memiliki fungsi sebagai komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik, partai juga  memiliki fungsi mengelola konflik. Di sini partai bertugas mengelola konflik yang muncul di masyarakat sebagai suatu akibat adanya dinamika demokrasi, yang memunculkan persaingan dan perbedaan pendapat.

Karena itu, elite partai seyogianya  menyadari  bahwa  pilkada  bukan  sekadar  terkait dengan kepentingan memperebutkan kekuasaan,  melainkan juga  keterlibatan  rakyat  dalam  sebuah pesta  demokrasi.  Ini artinya, pilkada harus dijadikan sebagai sarana pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai dengan nuraninya.

Dalam konteks lebih luas, pilkada juga sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Pasalnya, keberhasilan otonomi daerah salah satunya ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada 2018, maka akan berdampak pada terwujudnya cita-cita otonomi daerah, yang antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat yang ada.

Akhirnya, sudah saatnya berbagai titik kerawanan dan potensi ancaman pilkada 2018 diantisipasi sejak dini. Tahun politik 2018 harus menjadi momentum pendewasaan elite dan pendidikan politik bagi publik.                                  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×