kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perseteruan Pasaraya dan Matahari masuk sidang perdana


Rabu, 17 Januari 2018 / 18:17 WIB
Perseteruan Pasaraya dan Matahari masuk sidang perdana
ILUSTRASI. Gerai Matahari Departemen Store di Pasaraya Blok M


Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perseteruan antara PT Pasaraya Tosersajaya dengan PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF) memasuki sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Namun sayangnya, pihak Matahari belum hadir di persidangan. Majelis hakim menilai adanya kesalahan alamat yang dicantumkan Pasaraya dalam gugatan.

Maka dari itu, kubu Pasaraya diminta untuk memastikan alamat dari Matahari. "Kami mencantumkan alamatnya itu di Gatot Subroto tepatnya Gedung Berita Satu, tapi ada info untuk kegiatn operasionalnya pindak ke Karawaci, kita akan pastikan hal tersebut," ungkap kuasa hukum Pasaraya Mulyadi usai persidangan, Rabu (17/1).

Dengan demikian, sidang tersebut ditunda hingga 31 Januari untuk memastikan alamat dari pihak tergugat (Matahari). Meski begitu, secara terpisah, Sekretaris Perusahaan Matahari Miranti menjawab gugatan yang diajukan Pasaraya itu.

Lewat keterangan tertulis yang diterima KONTAN, Rabu (17/1) ia menjelaskan dugaan wanprestasi terhadap pihaknya adalah tidak benar. "Kami telah melakukan seluruh kewajiban kami sebagai tenant sesuai dengan perjanjian dan klaim adanya tunggakan biaya layanan adalah tidak benar, karena kenyataannya pihak Pasaraya masih menahan uang jaminan (security deposit) dengan nilai yang lebih dari mencukupi untuk membayar sewa dan biaya layanan tersebut," katanya.

Bahkan, Matahari menilai Pasaraya yang terlebih dahulu melakukan wanprestasi. Hal itu dibuktikan dengan gugatan yang diajukan pihaknya terlebih dahulu kepada Pasaraya pada 25 September 2017. Perkara tersebut juga sedang berjalan di pengadilan yang sama dan sudah memasuki agenda pemeriksaan saksi.

Dalam gugatannya itu, Matahari menuding Pasaraya tidak menjalani komitmen terkait konsep mall yang telah disepakati dalam sewa menyewa 2015 lalu. Bahkan hal tersebut, ia mengklaim mengalami kerugian ratusan miliyar dan memiliki untuk menutup gerainya di Pasaraya Manggarai dan Blok M.

"Pasaraya wanprestasi tidak memenuhi komitmen awal yang telah disepakati di dalam perjanjian yaitu untuk merubah dan menjadikan Pasaraya menjadi konsep mall dengan infrastruktur pendukungnya dalam waktu 2 tahun sesuai yang tertulis dan diperjanjikan semula," tambah Miranti.

Atas tanggapan tersebut, Mulyadi bilang, apa yang diperkarakan dalam hal ini adalah terkait kewajiban sewa menyewa yang belum dipenuhi seluruhnya oleh Matahari. "Kalau soal konsep memang berbeda hal, tapi ini jelas dasarnya ada perjanjian sewa menyewa dan menunjukkan Matahari masih ada kewajiaban kepada kami," jelas dia.

Menurut Pasaraya, Matahari telah menunggak uang sewa sejak Agustus 2017 atau dua bulan sebelum menutup gerainya. Kemudian terkait uang jaminan (security deposit) yang diklaim Matahari pun sampai saat ini masih belum bisa dicairkan lantaran, perusahaan milik Lippo Group itu belum sepenuhnya melakukan kewajiban kepada Pasaraya.

Mulyadi menambahkan, langkah sepihak Matahari yang mengakhiri kerjasama tersebut tidak etis dan tidak serta merta menggugurkan kewajiban mereka terhadap Pasaraya. "Mereka (Matahari) harus tetap membayar kewajiban yang sudah dipenuhi oleh Pasaraya. Jika kontrak yang sudah sah secara hukum begitu mudahnya diingkari, ini akan berbahaya bagi kepastian investasi dan meresahkan pelaku usaha," tegas Mulyadi.

Adapun dalam gugatannya, Pasaraya meminta pembayaran lunas dari beberapa kewajiban Matahari yakni, perjanjian sewa di Blok M dan Manggarai dengan masing-masing sebesar Rp 17,38 miliar dan Rp 12,24 miliar. Kemudian sisa pembayaran sewa sejumlah Rp 230,74 miliar di Blok M dan Rp 125,9 miliar di Manggarai.

Pasaraya juga meminta Matahari untuk membatar bunga sebesar 6% dari utang pokok senilai Rp 25,66 miliar. Serta uang paksa (dwangsom) Rp 1 juta per harinya jika keterlambatan menjalankan isi putusan perkara.


 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×