kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengetatan impor tembakau ancam penerimaan negara


Senin, 29 Januari 2018 / 16:41 WIB
Pengetatan impor tembakau ancam penerimaan negara
ILUSTRASI. Penjualan rokok - pita cukai rokok hmsp


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Markus Sumartomjon

KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2017 (Permendag 84 Tahun 2017) tentang Ketentuan Impor Tembakau ditinjau ulang. Ia menilai aturan tersebut berpotensi mengancam penerimaan negara.

Anggota Komisi VI DPR, Bambang Haryo, menyatakan pajak dari industri rokok merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp 148,23 triliun. Jumlah ini setara dengan 95,4 persen dari total target penerimaan cukai sebesar Rp 155,40 triliun.

"Dengan pembatasan impor tembakau, industri rokok bisa hancur. Rokok itu sumber pemasukan terbesar ketiga bagi negara dan ini juga untuk anggaran pembangunan negara," kata Bambang, Senin (29/1).

Dampak dari pengetatan impor tembakau, menurut Bambang, memang sangat besar. Aturan ini berpotensi menurunkan produksi industri hasil tembakau di dalam negeri, karena pembatasan justru dilakukan kepada tiga jenis tembakau utama yang menjadi bahan baku rokok yaitu Virginia, Burley, dan Oriental.

Padahal, produksi tembakau Virginia dan Burley oleh petani lokal masih sangat minim. Bahkan, tembakau Oriental sama sekali belum diproduksi di Indonesia.

Oleh karena itu, kebijakan pengetatan impor harus berpatokan dengan kondisi di lapangan. Saat ini, Indonesia masih kekurangan tembakau 40% untuk kebutuhan nasional. "Pabrik rokok harus hidup terus karena itu pasokan tembakau mesti tercukupi. Sebagian besar kekurangan tembakau memang harus diisi dari impor," kata dia.

Pembatasan impor yang berimbas terhadap penurunan produksi tembakau di Indonesia akan berdampak terhadap nasib banyak pihak. Di antara mereka yang paling terpukul adalah para petani tembakau, buruh linting, hingga pedagang.

"Dari 56 juta usaha mikro, kecil dan menengah sebanyak 20%-nya adalah penjual rokok. Kalau pasokan tembakau berkurang akan terjadi kekurangan pasokan dan kelebihan permintaan, sehingga harga jual semakin tinggi," tegas politikus dari Fraksi Partai Gerindra tersebut.

Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Permendag 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau. Sejumlah pihak menilai aturan tersebut memiliki berbagai kelemahan. Salah satu yang paling fatal adalah pembatasan impor tembakau jenis Virginia, Burley, dan Oriental.

Kabar terakhir, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian meminta Kementerian Perdagangan menunda pelaksanaan Permendag 84 Tahun 2017 yang semestinya berlaku 8 Januari tersebut. Namun, hingga kini belum jelas apakah pemerintah akan merevisi atau mencabut peraturan tersebut.

Di saat yang sama, DPR juga kembali memasukkan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018. Padahal, pembahasan undang-undang tersebut sempat dihentikan.

Ketua Umum Komunitas Kretek Adityo Purnomo, menegaskan ketersediaan tembakau Virginia di lapangan masih sedikit, sehingga perlu dilakukan impor untuk menutupi defisit. Selama ini tembakau Virginia lebih banyak digunakan untuk jenis rokok mild. "Impor bisa diminimalisir, tetapi sebelum itu terjadi atau kebutuhan akan tembakau Virginia tercukupi, pembatasan impor belum bisa dilakukan," kata Adityo.

RUU Tembakau Harus Dirombak

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi meminta pembahasan Rancangan Undang Undang Pertembakauan tidak dilanjutkan. Sebab terdapat 15 aturan yang berpotensi tumpang tindih dengan aturan lain yang sudah ada.

Contohnya pasal mengenai pengaturan produksi, distribusi, dan tata niaga industri hasil tembakau; harga dan besaran tarif cukai, serta mekanisme pengendalian konsumsi hasil tembakau yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.  “Jangan sampai dengan objek yang sama dengan peraturan yang berbeda akan menimbulkan multitafsir dan tidak memberi kepastian hukum,” tegas Heru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×