kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Pajak perusahaan menjadi sumber praktik penghindaran pajak


Senin, 05 April 2021 / 12:24 WIB
Pengamat: Pajak perusahaan menjadi sumber praktik penghindaran pajak
ILUSTRASI. Pengamat: Pajak perusahaan menjadi sumber praktik penghindaran pajak


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhir April 2021 menjadi bulan terakhir bagi sebagian besar Wajib Pajak badan untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak penghasilan (PPh) badan tahun pajak 2020.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptoni, mengatakan, di balik SPT PPh badan yg dilapor, realitasnya banyak perusahaan melakukan praktik penghematan pajak melalui SPT tersebut. Bentuknya dapat berupa perencanaan pajak (tax planning) dan/atau penghindaran pajak (tax avoidance atau tax evasion).

Kata dia tax planning menjadi pilihan perusahaan ketika aturan pajak memberikan insentif dan/atau fasilitas perpajakan. Sebab, perusahaan dapat menghemat pajak karena pembuat aturan sudah menyediakannya melalui hukum positif ketentuan pajak.

"Contohnya adalah penghasilan sebagai non-objek pajak. Di sisi biaya, ada sumbangan dan investment allowance (pengurang yang berasal dari nilai investasi). Dari sisi tarif pajak, ada penurunan tarif PPh badan, tarif pajak 0%, pajak ditanggung pemerintah, dan kredit pajak. Jadi, tax planning itu legal dan sesuai spirit pembuat kebijakan," kata Prianto, Senin (5/3).

Prianto menyampaikan tax avoidance menjadi alternatif bagi perusahaan karena sifatnya juga legal. Akan tetapi, cara ini tidak sesuai spirit pembuat kebijakan. Tax avoidance ini menjadi pilihan terbaik kedua (second best practice) bagi perusahaan karena banyak peraturan ambigu dan multitafsir.

Baca Juga: Ditjen Pajak catat realisasi pelaporan SPT Tahunan 2020 baru 9,9 juta

Penyebabnya adalah karena pada saat pembuat aturan membuat rancangan peraturan, terjadi berbagai perdebatan. Kondisi tersebut seperti dua kutub magnet yang tolak menolak atau bahkan tarik menarik. Pada akhirnya, peraturan final disepakati berdasarkan kompromi dan rasionalitas yang terbatas (bounded rationality) dari para perumus kebijakan.

Sebagai konsekuensinya, aturan final tersebut memiliki celah (tax loopholes) yang menimbulkan ambiguitas dan multitafsir. Tax loopholes tersebut selanjutnya dieksploitasi oleh Wajib Pajak (WP).

Menurut Prianto, praktik tax avoidance lebih sulit dideteksi oleh otoritas pajak. Ini karena karakteristiknya yang rahasia dan sering menggunakan jasa profesional (akuntan pajak atau konsultan pajak). Para ahli tersebut mengandalkan "tacit knowledge" yang berbasis pengalaman dan jam terbang mereka.

Di satu sisi, para ahli pajak tersebut sangat tahu bagaimana WP badan harus patuh pajak. Di sisi lain, mereka juga paham sekali terhadap tax loopholes yang tersebar di berbagai aturan pajak.

Kendati demikian, perusahaan sebagai WP badan tidak dapat disalahkan. Cara mereka menghemat pajak melalui tax avoidance itu masih legal, meski tidak dapat diterima oleh otoritas pajak. Karena itu, petugas pajak pun juga berusaha mencegah praktik tax avoidance dengan cara sama-sama mengeksploitasi penafsiran aturan pajak.

Baca Juga: Kata DDTC soal aktivitas transfer pricing diawasi kantor pajak




TERBARU

[X]
×