kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Hukum pajak yang ambigu jadi pemicu sengketa pajak PGN


Rabu, 13 Januari 2021 / 20:43 WIB
Pengamat: Hukum pajak yang ambigu jadi pemicu sengketa pajak PGN
ILUSTRASI. Sengketa pajak PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dinilai sebagai salah satu dampak ambiguitas hukum perpajakan di Tanah Air. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/06/04/2017


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Sengketa pajak PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dinilai sebagai salah satu dampak ambiguitas hukum perpajakan di Tanah Air. Demikian diungkapkan Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute.

Menurut Prianto, perbedaan penafsiran hukum perpajakan selama ini telah banyak terjadi. Bahkan, hal ini telah menjadi salah satu hambatan bagi investasi di Indonesia. “Ambiguitas hukum perpajakan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada solusi yang tuntas,” kata Prianto dalam webinar Analisis Kasus PGN vs DJP: Pemeriksaan & Metode Penafsiran Hukum Pajak, Rabu (13/1). 

Menurut Prianto, Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law cipta kerja), kluster perpajakan hanya mengatur beberapa hal terkait kemudahan investasi. Ini, tanpa menyelesaikan persoalan ambiguitas hukum perpajakan yang sebetulnya juga menjadi penghambat investasi di Indonesia.

Contohnya kasus yang saat ini tengah membelit PGN terkait tahun pajak 2012 dan 2013. Dalam upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Direktorat Jenderal Pajak, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan tersebut, sehingga PGN hgarus membayar denda Rp 3,06 triliun.

Prianto menyebut, sengketa ini muncul lantaran PGN dan Ditjen Pajak berbeda penafsiran soal status gas bumi sebagai objek pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

PGN dan Ditjen Pajak dinilai sama-sama mengacu pada bukti yang kuat dan berdasar pada peraturan pajak. “Tapi kedua pihak memiliki penafsiran yang berbeda atas peraturan perpajakan tersebut,” ujarnya. 

Alhasil, majelis hakim Pengadilan Pajak mengabulkan permohonan PGN. Sementara majelis hakim MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak. Baik PGN, Ditjen Pajak, dan MA sama-sama merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU PPN beserta penjelasannya. 

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu termasuk barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Nah, frase “yang diambil langsung dari sumbernya” ini telah menimbulkan multitafsir.

Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a UU PPN di atas di antaranya menyatakan “Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi: b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat”. 

Berdasarkan uraian penjelasan pasal tersebut, ada dua titik multitafsir, yaitu: frasa “termasuk gas bumi seperti elpiji" dan frasa “yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat”. 




TERBARU

[X]
×