kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,79   -11,72   -1.25%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pendapatan negara dari ESDM optimistis naik


Jumat, 29 September 2017 / 15:17 WIB
Pendapatan negara dari ESDM optimistis naik


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Rizki Caturini

KONTAN.CO.ID - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) optimistis, pendapatan negara dari sektor ESDM akan naik tahun ini. Meski diakui, harga komoditas sebagai pendorong kenaikan pendapatan negara tidak bisa diprediksi, karena mengacu pasar.

Menteri ESDM Ignasius Jonan menjelaskan, ada dua faktor besar yang mempengaruhi penerimaan negara di sektor ESDM. Pertama, harga komoditas dan kuantitas produksi di sektor ESDM. Terkait harga komoditas, pemerintah tidak bisa mengendalikan harga komoditas karena mengacu pada harga internasional.

Menurut Jonan, komoditas migas serta mineral dan batubara (minerba) itu global market price. "Sehingga ini tidak bisa kita kendalikan," ujar Jonan dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, pada Kamis (28/9).

Ia mencontohkan, pada tahun 2015, harga minyak lebih dari US$ 100 per barel. Total penerimaan negara bisa mencapai sekitar Rp 357 triliun dari sektor ESDM. Namun pada tahun 2016, harga minyak tinggal US$ 38 per barel, maka penerimaan negara langsung menciut.

Kedua, masalah kuantitas produksi. Jonan memaparkan, masalah kuantitas memang bisa saja dikendalikan oleh pemerintah. Namun ketika produksi bisa ditingkatkan, pasar belum tentu bisa menyerap.
Ia memberi contoh, produksi gas kini cukup banyak, sehingga tidak bisa diserap oleh pasar. "Produksi gas banyak, kadang-kadang kepikiran jual ke mana? Kadang terjadi penjualan sifatnya spot, mendadak atau langsung," ujarnya.

Selain kedua faktor tersebut, penerimaan negara dari sektor ESDM juga dari pengenaan tarif atau royalti atau bagi hasil. Dengan harga komoditas masih rendah, pemerintah tidak bisa meningkatkan pengenaan tarif, royalti atau bagi hasil yang tinggi.

Menurut Jonan, pemerintah berusaha mengenakan tarif PNBP atau royalti atau yang disebut bagi hasil fair supaya tidak memberatkan dunia usaha. "Kalau dunia usaha berat nanti tutup, lapangan kerja berkurang," kata Jonan.

Biarpun kondisi sektor ESDM mengalami perlambatan, pada tahun 2017 sudah terjadi perbaikan dari sisi penerimaan negara. Terlihat dari adanya peningkatan penerimaan negara di tahun 2017 dibandingkan dengan tahun 2016. 

Target minyak meleset Hingga Agustus 2017, lifting minyak hanya 792.000 barel per hari atau barrel oil per day (bopd). Padahal target lifting minyak tahun ini dipatok sebesar 815.000 bph.

Padahal pada semester I-2017 rerata lifting minyak 802.000 barel per hari. Artinya ada penurunan produksi pada September 2017 . Kontributor terbesar lifting minyak adalah Chevron Pacific Indonesia, Mobil Cepu Ltd, Pertamina EP, Total EP Indonesie, PHE Onwj, Cnooc Ses Ltd, Medco Natuna, Chevron Indonesia, PC Ketapang II Ltd dan Vico.

Jonan mengatakan, lifting minyak Indonesia memang rata-rata sampai saat ini masih di bawah 800.000 bph. Hingga akhir tahun diproyeksi tidak akan mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017. "Menurut saya, minyak sampai akhir tahun outlook di bawah 815.000 barel per hari," ujarnya.

Untuk gas, ia masih cukup optimistis target lifting pada tahun ini tercapai. Pasalnya hingga Agustus 2017, lifting gas sudah mencapai 1.134.000 barrel oil equivalent per day (boepd). "Kalau gas di atas itu, mungkin 10%-15% di atas itu. Targetnya 1.115.000 boepd," katanya. Kontribusi produksi gas dari Total EP Indonesie, BP Tangguh, Pertamina EP, Conoco Philips Grissik Ltd, JOB Pertamina-Medco Medco Natuna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×