kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ketika garda terdepan bertameng jas hujan murah saat berjihad melawan wabah corona


Jumat, 10 April 2020 / 16:43 WIB
Ketika garda terdepan bertameng jas hujan murah saat berjihad melawan wabah corona
ILUSTRASI. Petugas medis Puskesmas Ulee Kareng memakai jas hujan plastik sebagai alat pelindung diri (APD) saat melayani pasien di Banda Aceh, Aceh, Rabu (8/4/2020). Petugas medis di tingkat puskesmas menggunakan jas hujan karena keterbatasan APD yang sesuai standar


Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Evawangi, seorang dokter di rumahsakit (RS) di pinggiran Jakarta setiap hari semakin khawatir. Dua pekan terakhir, RS tempatnya praktik mencatat peningkatan pasien dugaan virus corona. Namun, kehabisan alat pelindung untuk anggota medis. Bahkan banyak yang harus bertempur melawan corona dengan amunisi sederhana Banyak yang mengenakan jas hujan plastik murah untuk melindungi diri dari virus.

"Kami memprioritaskan N95 dan masker bedah, jas hazmat, pelindung wajah untuk mereka yang berada di unit gawat darurat dan ruang isolasi," kata Evawangi kepada Nikkei Asian Review pekan lalu. Pasokan RS itu terbatas. Hanya memiliki 40-50 set perlengkapan per hari, sementara kebutuhan mencapai 80 set per hari.

Kisah Evawangi seakan mewakili kondisi RS tanah air.  Di media sosial, berita, foto dan rekaman video Indonesia, berseliweran dokter dan perawat mengenakan jas hujan  berwarna biru atau hijau. Asia Tenggara mengalami peningkatan korban virus corona yang begitu cepat. Menimbulkan kekhawatiran bahwa wilayah berpenduduk lebih dari 650 juta orang ini bisa menjadi sarang wabah berikutnya. Negara-negara dengan sistem perawatan kesehatan yang kekurangan sumber daya, seperti Indonesia dan Filipina, dianggap paling berisiko.

Ikatan Dokter Indonesia mendesak pemerintah  menjamin perlindungan tenaga medis, menyarankan pekerja untuk menghindari mengobati pasien Covid-19 tanpa perlindungan yang tepat. Hingga awal pekan ini setidaknya 24 dokter wafat ketika menangani wabah. Sementara di Jakarta saja, hampir 100 petugas kesehatan telah terinfeksi.

Pemerintah mengklaim,  telah mendistribusikan ratusan ribu peralatan pelindung medis, Tapi sejauh ini belum mencukupi. Walhasil, memaksa banyak rumah sakit meminta sumbangan perlindungan sederhana, seperti sarung tangan dan pembersih tangan. "Jadikan ini perang yang bisa kita menangkan, bukan misi bunuh diri,". Demikian salah satu postingan RS  di Twitter.

Risiko Indonesia masih bertambah. Negeri ini bersiap kedatangan pekerja migran yang kembali dari Malaysia, serta hampir 12.000 anggota awak kapal dari seluruh dunia. Kekhawatiran lain, bulan Ramadan yang sebentar lagi tiba dan diikuti Idul FItri. Sekitar 2,5 juta orang berpotensi mudik ke kampung halaman. 

Celakanya, pejabat Indonesia masih saja buruk dalam komunikasi publik. Ada yang bilang, iklim tropis Asia Tenggara akan menjadi keuntungan, karena wabah SARS pada tahun 2003 mereda setelah cuaca menghangat. Keunggulan lain yang dirasakan adalah populasi yang umumnya muda di kawasan itu, dibandingkan dengan Italia atau Amerika Serikat, karena Covid-19 biasanya banyak menyerang lansia..

Namun, pernyataan tidak sesuai dengan kenyataan.  Kasus yang dikonfirmasi Indonesia jauh di bawah AS dan Italia, tetapi tingkat kematian mencapai 9%, salah satu yang tertinggi di dunia. "Meskipun kita memiliki populasi muda, banyak perokok atau memiliki penyakit lain seperti hipertensi dan diabetes. Itu membuat virus lebih mematikan," tegas Pandu Riono, seorang ahli epidemiologi di Universitas Indonesia kepada Nikkei Asian Review.

Sebelumnya  jika kita tarik ke belakang, Pemerintah Indonesia meremehkan ancaman corona sebelum kasus pertama  terdeteksi pada 2 Maret lalu. Kapasitas pengujian, diagnosa telat, terlambat membawa pasien ke RS  juga dapat menjelaskan tingkat kematian yang tinggi. "Kapasitas sistem perawatan kesehatan terbatas. Banyak dari mereka yang membutuhkan perawatan tidak dapat diobati," lanjut Riono. Ini juga menyebabkan korban meninggal bertambah. 

Pemodelan matematika Riono dan rekan-rekannya menunjukkan, jumlah infeksi di Indonesia mungkin sudah mencapai 1 juta, tapi hanya 2% terdeteksi. Jumlah kematian juga bisa jauh lebih tinggi dari pengumuman resmi pemerintah. Sialnya lagi,  Indonesia memiliki pengeluaran kesehatan per kapita terendah. Juga rasio jumlah dokter terendah, hanya 3 per 10.000 penduduk.

Dan tak kalah penting, Pemerintah Indonesia enggan menerapkan tindakan keras untuk membatasi pergerakan publik. Filipina telah memberlakukan lockdown selama sebulan di pulau utama Luzon, rumah bagi 60 juta orang. Tentara ikut turun tangan. Malaysia menutup perbatasan dan menutup bisnis yang tidak penting pada pertengahan Maret lalu dan menjatuhkan denda pada pelanggar. Singapura mewajibkan 14 hari isolasi bagi pendatang serta menutup kantor dan sekolah. Bahkan Thailand memperkenalkan jam malam. Perdana Menteri Thailang, Prayuth Chan-ocha  menempatkan kesehatan lebih utama, di atas kebebasan.

Indonesia memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebagian kantor, pusat perbelanjaan dan tempat umum di Jabodetabek tutup selama beberapa pekan terakhir. Namun tetap tidak ada pelarangan mudik. Dengan alasan, pemudik tidak punya penghasilan akibat dampak wabah corona  dan penerapan PSBB. Menurut aturan, PSBB tidak mewajibkan pemerintah mencukupi kebutuhan dasar masyarakat. Alasan lain, mudik sudah menjadi tradisi.  

Presiden Joko Widodo sendiri telah mengumumkan keadaan darurat kesehatan masyarakat nasional. "Kita tidak bisa hanya meniru (negara lain), karena setiap negara memiliki karakteristik sendiri," kata presiden, mengutip Nikkei Asian Review.

Di sisi lain, beberapa tenaga medis sebagai garda terdepan tetap berjihad dengan tameng seadannya. Entah sampai kapan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×