kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri tolak sifat Mandatory RUU Produk Halal


Senin, 16 Desember 2013 / 19:35 WIB
Industri tolak sifat Mandatory RUU Produk Halal
ILUSTRASI. Ramalan cuaca besok di Jawa dan Bali dari BMKG cerah hingga berawan. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN.


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal mendapatkan tentangan dari kalangan pelaku industri sektor farmasi serta makanan dan minuman. Rencana mewajibkan sertifikasi produk halal akan memberatkan bagi kalangan pelaku industri.

Poin tentang sifat UU Jaminan Produk Halal sendiri apakah bersifat mandatory(wajib) atau voluntary sukarela masih menjadi perdebatan.

Pada awalnya, pemerintah yang menjadi inisiator pembahasan RUU Jaminan Produk Halal menghendaki sifatnya mandatory didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sedangkan Komisi VIII DPR RI menghendaki voluntary.

Kalangan pelaku industri sendiri menghendaki sifatnya voluntary karena labelisasi halal merupakan sebuah pilihan agar tidak memberatkan.

Pengenaan label produk halal sendiri pada akhirnya akan menjadi sebuah kebutuhan untuk menarik minat serta memberikan jaminan kepada konsumen.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), Darojatun Sanusi, mengatakan, UU Jaminan Produk Halal nantinya tidak tepat jika harus dikenakan kepada produk farmasi.

"Produk farmasi berbeda dengan makanan serta minuman karena sudah melalui proses registrasi yang cukup ketat," ujarnya di Jakarta, Senin (16/12).

Menurut Darojatun, setiap produk farmasi harus memenuhi tiga kriteria yaitu keamanan, kasiat, dan kualitas. Ia menilai, seluruh persyaratan tersebut tela dicek oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Darojatun memastikan, bahwa mayoritas produk farmasi tidak akan menggunakan bahan yang tidak halal karena akan merugikan bagi kalangan perusahaan sendiri.

Keberadaan obat yang mengandung bahan tidak halal juga jumlahnya sangat sedikit dan digunakan dalam kondisi darurat saja.

Darojatun menuturkan, bahwa isu terkait keberadaan obat yang mengandung bahan tidak halal atau berbahaya perlu dihentikan.

"Menjelang pelaksanaan BPJS pemerintah perlu mendorong ketersediaan obat di dalam negeri dan setiap saat bisa dibeli masyarakat," ujarnya.

GP Farmasi sendiri mencatat bahan baku produk farmasi sebesar 95%-nya diimpor dari luar negeri. Sejauh ini juga tercatat terdapat 10 perusahaan dari industri farmasi yang telah gulung tikar akibat kalah bersaing dengan produk farmasi seperti dari China dan Korea Selatan.

Wakil Ketua Bidang Kebijakan Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Rahmat Hidayat, mengatakan, kewajiban memiliki sertifikasi produk halal akan memberatkan pelaku usaha di sektor makanan dan minuman. "Kondisi saat ini sudah tidak masalah bagi kalangan pengusaha, sehingga sebenarnya tidak perlu dirubah," ujarnya.

Menurut Rachmat, pemerintah dan DPR sebaiknya membiarkan kalangan pengusaha untuk memilih sendiri apakah akan memiliki sertifikasi halal atau tidak. Jika sifatnya menjadi mandatory atau wajib maka bagi kalangan pengusaha makanan dan minuman kelas kecil akan sangat berat.

Rachmat menjelaskan, bahwa biaya sebesar Rp 6 juta di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia(LPPOM MUI) hanya sebagai tarif administrasi saja. Sedangkan, untuk biaya pengurusan sampai mendapatkan sertifikasi atau label halal untuk setiap produk bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Pengurusan sertifikasi produk halal sendiri harus sampai mengecek ke sumber bahan baku produk makanan dan termasuk proses produksinya. Label jaminan produk halal sendiri hanya berlaku dua tahun dan perlu diperpanjang kembali.

Rachmat menambahkan, bahwa kebijakan ketat seharusnya hanya ditujukan bagi perusahaan yang telah memiliki sertifikasi halal. "Bagi yang sudah memiliki label halal perlu diperketat, jika terbukti tidak sesuai dengan labelnya perlu langsung di hukum dengan tegas," katanya.

Ia menilai, bahwa peraturan yang ada sekarang sebenarnya sudah cukup untuk mengawasi penerapan produk berlabel halal. Contohnya seperti, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Peraturan Kepala BPOM.

Tarik menarik mandatory atau voluntary

Anggota Komisi VIII DPR RI, Muhammad Baghowi, mengatakan, proses penyelesaian RUU Jaminan Produk Halal masih dalam tahap pembahasan di Komisi VIII DPR.

"Masih ada beberapa poin yang dibahas dan terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan," ujarnya.

Poin terkait sifat UU Jaminan Produk Halal apakah mandatory atau voluntary masih menjadi perdebatan. Baghowi mengatakan, pihak MUI masih dengan tegas menghendaki sifatnya mandatory sedangkan DPR dan pelaku industri menghendaki sifatnya voluntary.

"Kehalalan produk merupakan sebuah ibadah dan pemerintah tidak perlu mengaturnya, hal ini juga berbeda dengan pernikahan yang harus tercatat untuk tercatat oleh negara dan mengetahui hak warisnya," ujarnya.

Menurut Baghowi, saat ini terdapat sekitar 40 juta Usaha Kecil, Menengah, dan Mikro (UMKM). Jsika sifat produk halal wajib maka dengan biaya administrasi sebesarRp 6 juta, total dana yang terkumpul bisa mencapai Rp 200 triliun.

"Jika sifatnya subsidi maka cukup besar atau usulan perusahaan besar membantu pengusaha kecil, namun ini juga akan memberatkan," katanya.

Pembahasan UU Jaminan Produk Halal juga terkait kewenangan pemberi label halal. MUI sendiri meminta kewenangan penuh sedangkan pemerintah mengusulkan adanya sidang isbat dan MUI menjadi bagian didalamnya.

Komisi VIII DPR sendiri menargetkan sebelum masa sidang 2013-2014 UU Jaminan Produk Halal bisa segera disahkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×