kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri manufaktur berpotensi stagnan


Jumat, 05 Januari 2018 / 11:30 WIB
Industri manufaktur berpotensi stagnan


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Dessy Rosalina

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang dirilis Nikkei pada Desember 2017 turun ke posisi 49,3, dibandingkan November 2017 yang sebesar 50,4. Ini merupakan kali pertama PMI tercatat di bawah titik netral 50 sejak Juli 2017. Indeks di bawah 50 berarti menunjukkan adanya penurunan atau kontraksi.

Penurunan PMI di bawah 50 antara lain dipicu penurunan produksi untuk pertama kalinya dalam tiga bulan. Penurunan PMI bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia di tahun ini. Apalagi manufaktur menjadi salah satu sektor penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar Indonesia.

Penurunan indeks PMI manufaktur menunjukkan tingkat permintaan konsumen yang melemah dan bisa diartikan perekonomian sedang melambat. Indeks PMI manufaktur dihitung dari survei ke para manajer mengenai jumlah pesanan baru, output hasil produksi, jumlah tenaga kerja, waktu pengiriman dari pemasok bahan atau material, juga ketersedian barang-barang penunjang produksi.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara bilang, dengan kondisi PMI yang turun maka pertumbuhan industri manufaktur sepanjang 2018 akan tumbuh stagnan di angka 5%. "Penyebab utamanya dari sisi permintaan domestik belum sepenuhnya pulih, terutama kelas menengah," katanya, Kamis (4/1).

Menurutnya kondisi masyarakat 40% terbawah sedikit pulih lantaran ditopang bantuan sosial yang jumlahnya naik signifikan. Sementara itu, ekspor memang jadi andalan, tapi lebih didominasi ekspor barang mentah. Tantangan lain, kenaikan bahan bakar non subsidi berimplikasi pada mahalnya biaya produksi. "Jadi tren efisiensi dan downsizing terutama manufaktur skala menengah besar akan terus berlangsung," tambah Bhima.

Dia memperkirakan, industri yang akan mengalami tekanan adalah industri hasil tembakau, kimia farmasi, industri kulit, barang dan alas kaki, logam dasar, dan industri kayu. Di sisi yang lain industri makanan minuman akan bertahan karena didorong sejumlah perhelatan di 2018 seperti Pilkada dan Asian Games.

Industri tekstil juga tumbuh positif seiring permintaan Amerika dan Eropa yang membaik. "Paling penting sekarang penurunan harga gas industri dengan mendorong infrastruktur. Beban produksi paling signifikan tahun ini ada di biaya energi," kata Bhima.

Ekonom Samuel Aset Manajemen berpendapat penurunan PMI ini jadi hanya karena faktor musiman. Sebab, pada Juni 2017, PMI manufaktur Indonesia juga turun di posisi 49,5. "Bisa jadi efek akhir tahun dimana kegiatan produksi melambat," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×