kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Generasi milineal, korupsi, dan politik asyik


Selasa, 12 Desember 2017 / 11:07 WIB
Generasi milineal, korupsi, dan politik asyik


| Editor: Tri Adi

Makin rendahnya minat generasi milenial untuk terjun ke politik merupakan satu ancaman yang perlu disikapi serius. Temuan survei Litbang KOMPAS pada 25-27 Oktober 2017 lalu menyebutkan, hanya 11,8% generasi milenial yang mau menjadi anggota partai, sebanyak 86,3% tidak bersedia, dan sisanya 1,9% mengatakan tidak tahu.

Merujuk pendapat Elwood Carlson dalam The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby Boom (2008), generasi milenial—atau disebut juga generasi Y—adalah mereka yang lahir dalam rentang 1983–2001. Generasi milenial memiliki karakter unik berdasarkan wilayah dan kondisi sosio-kultural di mana dia tinggal. Ada yang bilang generasi ini  susah diatur, namun ada yang menyebut generasi milenial generasi kreatif yang akrab dengan media sosial dan teknologi digital.

Tentu gejala “emoh partai” yang terjadi pada generasi milenial merupakan alarm bagi evolusi kepemimpinan. Sebagai lembaga demokrasi modern, partai merupakan tempat sirkulasi kepemimpinan dalam segala jenjang, baik eksekutif maupun legislatif, baik kepemimpinan nasional maupun lokal. Rendahnya minat orang muda menjadi anggota partai akan menyumbat sirkulasi tersebut. Sebagai dampaknya, regenerasi kepemimpinan akan terus berkutat pada 4L (Lu Lagi Lu Lagi).

Di saat yang sama, apatisme generasi milenial mengancam partisipasi dalam hajatan demokrasi tahun 2019 mendatang. Peneliti LIPI Ibnu Nadzir memprediksi populasi pemilih dari kalangan milenial pada 2019 mencapai lebih dari 50%. Jika 50% dari total populasi pemilih itu mengalami “mogok nyoblos”, maka bisa dibayangkan berapa angka partisipasi pada Pemilu 2019 mendatang.

Generasi milenial merupakan aset penting dalam pembangunan bangsa. Bayangkan, tahun 2020-2030 Indonesia akan mengalami ledakan penduduk (bonus demografi). Saat itu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70%, sedang 30% lainnya berada di usia tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun). Artinya, apatisme generasi milenial terhadap politik akan sangat berpengaruh pada konfigurasi pembangunan Indonesia di masa mendatang.  

Salah satu alasan mengapa generasi milenial “ogah” masuk partai lantaran selama ini partai dianggap lembaga demokrasi yang pekat dengan aroma korupsi. Data statistik KPK menyebutkan, sejak 2004 hingga Juni 2017, sudah ada 78 kepala daerah yang tersangkut korupsi. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya.

Ini terjadi lantaran parpol selama ini masih terjerembab dalam kubangan kartelisme. Sistem kepartaian yang terkartelisasi ditandai oleh terpisahnya partai dengan konstituen (Kartz dan Mair, 1995). Parpol yang terkartelisasi memiliki kecenderungan kabur dari sikap kritisnya sebagai “penyambung lidah” rakyat, namun justru berlomba memburu rente sebanyak-banyaknya. Di saat bersamaan, alih-alih mewakili kepentingan kolektif yang beragam, dalam sistem kepartaian yang terkartelisasi, sebagian besar partai politik cenderung melayani kepentingan mereka sendiri.

Inilah mengapa dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2016 yang diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu menunjukkan, partai politik menjadi variabel utama yang menyumbang turunnya kualitas demokrasi Indonesia selama dua tahun berturut-turut. Tak hanya itu, temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun lalu menunjukkan tingkat kedekatan partai (party ID) terhadap publik hanya berada di angka 9%.

Ini artinya, korupsi ataupun politik kartel yang dilakukan elite partai agaknya tak hanya merubah idealisme dan antusiasme generasi milenial menjadi sinisme dan apatisme, namun juga tengah membuat citra partai semakin terjungkal.

Politik asyik

Sudah saatnya persepsi negatif yang melekat di tubuh parpol saat ini dihilangkan. Buruknya citra partai karena dianggap sebagai sarang korupsi hanya akan membuat generasi milenial makin menjauh. Kita berharap istilah “politik kotor” yang selama ini melekat di kalangan generasi milenial dapat dirubah menjadi “politik asyik”.

Politik asyik adalah ketika partai politik sebagai kawah candradimuka para calon pemimpin mampu melahirkan para pejabat publik yang bersih dan mampu membawa perubahan. Lebih dari itu, politik asyik juga dapat dimaknai ketika partai politik sebagai lembaga demokrasi modern mampu menyentuh aspirasi, keinginan, dan harapan generasi milenial. Ini penting karena selama ini generasi milenial masih sekadar menjadi lahan mendulang suara tanpa dipenuhi keinginan mereka.

Dalam kasta politik, generasi milenial ataupun orang muda masih ditempatkan paling bawah sehingga mereka hanya dijadikan “pemeran figuran” untuk mempertebal gincu politik. Di sisi lain, minimnya wadah yang secara serius menampung generasi milenial juga merupakan salah satu sebab mengapa kelompok ini cenderung menjaga jarak dengan politik praktis. Memang hampir setiap partai punya divisi kepemudaan. Namun, divisi tersebut dibentuk seolah hanya merupakan ornamen keorganisasian karena faktanya tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Justru kelompok milenial kerap tersisih dari struktur elite politik lantaran sistem jenjang kepengurusan partai sangat hierarkis dan oligarkis.

Padahal, saya menduga, selain karena faktor politik yang kurang asyik, makin tebalnya garis pembatas kelompok milenial dengan politik lantaran ruang lingkupnya selama ini dipersempit. Sehingga yang terjadi mereka kerap menyuarakan gagasan-gagasan politiknya lewat media sosial ataupun gerakan politik sukarelawan karena bagi mereka itulah politik yang asyik.

Untuk itu, gelombang politik asyik sebagai penanda bangkitnya politik generasi milenial mesti terus diayunkan. Masuknya sejumlah figur milenial ke dalam jagat politik—sebut saja Tsamara Amany Alatas yang bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di saat posisinya masih menjabat mahasiswi semester VI—patut dijadikan inspirasi. Para generasi milenial harus mampu menjadi “Tsamara Effect” sebagai momentum kebangkitan politik pemuda atau milenial.

Ini penting karena selain republik ini didirikan oleh sebagian besar kelompok muda, dalam jiwa muda juga memancar sebuah idealisme. Idealisme, kata Tan Malaka (1897-1949), merupakan kemewahan terakhir yang dimiliki oleh kaum muda. Idealisme itulah yang semestinya masuk ke dalam arena dan ingar-bingar politik hari ini. Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×