kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Emiten penyiaran bakal tertekan biaya retribusi


Minggu, 02 Juli 2017 / 22:00 WIB
Emiten penyiaran bakal tertekan biaya retribusi


Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Usulan mengenai kenaikan retribusi dana penyiaran masih dalam pembahasan di DPR. Saat ini, pungutan penyiaran tersebut masih termuat dalam RUU penyiaran.

Anang Achmad Latif, Direktur Utama Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) menyatakan domain terkait retribusi tersebut berada dalam wewenang Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Dirjen PPI).

"Kami di BP3TI hanya sebagai eksekutor dari kebijakan," ujar Anang kepada KONTAN, Minggu (2/7).

Sebelumnya beredar kabar, BP3TI mengusulkan naiknya pungutan menjadi 5% yang dikenakan atas total pendapatan kotor iklan dalam setahun. Yakni kepada seluruh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dengan tujuan mempercepat proses cakupan siar di Indonesia.

"Waktu itu saya hanya kasih gambaran, kalau mau nendang besarannya harus cukup, saya ambil contoh 5% pada saat itu," tambahnya.

Bila kebijakan kenaikan retribusi tersebut disetujui, nantinya akan menjadi sentimen negatif bagi emiten-emiten penyiaran. Di antaranya seperti PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) yang membawahi stasiun televisi MNC, RCTI, dan Global Tv. Selain itu, PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) yang membawahi Indosiar, dan SCTV. Ada pula PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) yang membawahi ANTV, dan Tv One.

Christine Natasya analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia menyatakan bila kebijakan tersebut terlaksana, akan menjadi sentimen negatif untuk industri penyiaran. Dalam jangka pendek, industri media akan terkena efek kebijakan itu. "Karena nanti revenue mereka akan berkurang," ujar Christine.

Pungutan yang akan digunakan untuk memperluas cakupan free to air (FTA) TV tersebut, memungkinkan pertambahan luas siar sampai ke pedalaman. Selain itu, juga untuk memperbaiki satelit yang belum bagus. Konsep pungutan tersebut, mirip dengan penerapan kebijakan universal service obligation (USO) yang diterapkan pada industri telekomunikasi.

Selama ini, pungutan USO digunakan untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah terpencil. Konsep pungutan biaya USO yakni sebesar 1,25% dari pendapatan kotor yang dipungut pemerintah.

Menurutnya, kebijakan tersebut dalam jangka panjang akan memperluas wilayah cakupan siar. Hal tersebut memungkinkan meningkatnya minat untuk melakukan pemasangan iklan. Namun, dia memprediksi peningkatan nantinya tidak banyak.

"Kebijakan ini bagus untuk jangka panjang, namun jangka pendek akan jelek (bagi emiten)," ujar Christine.

Sebelum mendengar usulan penambahan biaya retribusi tersebut, Christine merekomendasikan buy untuk emiten SCMA dengan target harga 3290. Dia merekomendasikan hold emiten MNCN dengan target harga 2170.

"Ini belum saya masukin asumsi kena 5%, kalau saya masukkan akan downside lumayan," tambahnya.

Dalam laporan keuangan, sepanjang 2016 MNCN mencatatkan pendapatan usaha sebesar Rp 6,73 triliun, dengan kontribusi pendapatan iklan dan konten sebesar Rp 6,6 triliun. Bila dengan menggunakan patokan pendapatan tahun lalu, pengenaan retribusi sebesar 5% misalnya, membuat MNCN harus merogoh kocek sebesar Rp 336,5 miliar.

Sedangkan SCMA yang memiliki pendapatan usaha pada 2016 sebesar Rp 4,52 triliun, dengan kontribusi pendapatan iklan sebesar Rp 5,58 triliun. Bila dikenakan retribusi sebesar 5%, maka SCMA merogoh kocek Rp 279 miliar.

Sementara itu, sepanjang tahun 2016 VIVA memiliki pendapatan usaha sebesar Rp 2,68 triliun. Dari pendapatan tersebut, kontribusi pendapatan iklan yakni sebesar Rp 2,45 triliun. Bila terdapat retribusi sebesar 5%, maka VIVA merogoh kocek sebesar Rp 122,5 miliar. Itu semua dengan asumsi pendapatan usaha media pada tahun 2016.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×