kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DJP: Tak ada yang menakutkan dari regulasi Perpajakan


Rabu, 21 Februari 2018 / 20:42 WIB
DJP: Tak ada yang menakutkan dari regulasi Perpajakan
ILUSTRASI. Gedung Mahkamah Konstitusi


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Dua regulasi soal perpajakan digugat oleh Heni Victoria, Direktur PT Harapan Sinar Abadi ke Mahkamah Konstitusi. Ia menggugat UU 28/2007 Pasal 9 ayat (2a), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3) huruf c, dan UU 42/2008 Pasal 9 ayat (9).

Menanggapi gugatan ini, Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Yunirwansyah mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hak sebagai warga negara untuk mengajukan uji materi ke MK.

"Kalau ada masyarakat, atau siapapun yang berhak mengajukan judicial review ya tidak masalah. Karena itu hak mereka," katanya saat dihubungi KONTAN, Rabu (21/2).

Meski demikian ia menolak jika dikatakan bahwa pasal-pasal yang diujimaterikan menjadi momok bagi masyarakat.

UU 28/2007 Pasal 9 ayat (2a) berbunyi pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Ditambah dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU 28/2007 soal Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang dapat diterbitkan dalam waktu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Sedangkan Pasal 13 ayat (3) huruf c yang turut digugat menyatakan soal sanksi administrasi sebesar 100% dari PPn yang tidak atau kurang bayar.

Sementara dalam UU 42/2009 Pasal 9 ayat (9) dinyatakan bahwa pajak masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dalam pajak keluaran pada masa pajak yang sama dapat dikreditkan padanmasa pajak berikutnya, paling lama tiga (3) bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

"Sebenarnya tidak menakutkan, sanksi itu di perundangan manapun wajar ada, karena memang untuk mendidik kepatuhan, bukan untuk menghukum," sambungnya.

Terlebih kata Yurniwansyah, kedua regulasi tersebut juga telah direvisi. Artinya, upaya penyesuaian terhadap kondisi masyarakat terus diupayakan oleh pemerintah.

Saat ini sendiri, Kemkeu tengah mengusulkan kembali revisi UU 28/2007 di DPR.

"Kita terus mengkaji, dan hasil uji materi di MK tersebut juga bisa jadi masukan dalam revisi tersebut," jelasnya.

Sementara itu Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, beberapa poin memang perlu diuji materi lantaran sudah tak tepat.

"Kalau dilihat, UU tersebut kam sudah lama, sudah berjalan selama ini dan baru diuji materi. Meski ada beberapa yang sudah tidak pas lagi," katamya saat dihubungi KONTAN, Rabu (21/2).

Salah satu contoh pasal yamg dicontohkan misalnya Pasal 13 ayat (3) huruf c yang menyatakan soal sanksi administrasi sebesar 100% dari PPn yang tidak atau kurang bayar.

"Sanksi 100% itu memang kurang jelas dan memberatkan, saya sependapat memang perlu diuji materi," lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×