kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tantangan bidang digital forensik di Indonesia


Jumat, 30 Desember 2016 / 18:33 WIB
Tantangan bidang digital forensik di Indonesia


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Tantangan dalam bidang digital forensik semakin besar. Ini sejalan dengan kemampuan komputer dan semakin luasnya pemanfaatan komputer dalam berbagai aspek kehidupan manusia, maka mulailah muncul sejumlah dampak negatifnya, antara lain adalah penggunaan komputer untuk aktivitas kriminal.

Kepala Pusat Studi Forensika Digital, Fakultas Teknik Informatika, Universitas Islam Indonesia (UII) Yudi Prayudi mengatakan, tools dan produk untuk aktivitas digital forensik umumnya masih sangat bergantung pada vendor di luar negeri. Hanya kalangan terbatas saja yang memilikinya serta menguasainya. Untuk itu, selain memanfaatkan tools dan produk yang berbasis pada open source, maka ketersediaan tools dan produk buatan dalam negeri adalah merupakan salah satu tantangan ke depan. "Dari aspek sosialisasi, pemahaman antara praktisi digital forensik dengan praktisi penegak hukum juga masih menjadi gap tersendiri," katanya.

Yudi menjelaskan, para praktisi juga harus lebih mendalami dan memahami seluk beluk hukum acara di Indonesia agar dalam menjalankan aktivitas digital forensiknya bisa benar-benar berkontribusi bagi ketersediaan fakta dan data yang fair di depan hukum. Sementara itu, praktisi hukum juga harus mau belajar lebih lanjut tentang karakteristik khusus dari penanganan cybercrime dan bukti digital yang mungkin berbeda dengan pemahaham umum yang pernah dipelajarinya di perkuliahan studi hukum.

Hal senada diutarakan praktisi digital forensik Soni Wirayudha yang mengakui semakin banyak tantangan dalam dunia digital forensik saat ini. Salah satunya dari tingkat sifat barang bukti digital yang mudah hilang, mudah rusak, dan gampang dimodifikasi. "Ini menjadi tantangan bagi praktisi untuk menjaga integritas barang bukti digital tersebut," sebutnya.

Didik Sudyana, pengajar Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer dan Akademi Manajemen Informatika Komputer (STMIK AMIK) Riau menambahkan, tantangan lainnya yaitu adanya perlakuan-perlakuan anti forensik yang dilakukan. Seperti penggunaan password, upaya menyembunyikan data di barang bukti, dan penghilangan barang bukti digital. "Juga upaya membuat barang bukti digital palsu dengan harapan untuk mengaburkan jejak yang telah dibuat," beber lulusan Magister Forensika Digital UII ini.

Digital forensik adalah sebuah bidang sebagaimana layaknya bidang forensik lainnya, yaitu sebuah kontribusi keilmuan (scientific) dalam membantu proses pengungkapan kasus-kasus kejahatan sehingga didapat bukti-bukti yang dapat diterima secara hukum. Mengingat bentuk-bentuk kejahatan telah berubah sejalan dengan semakin maraknya penggunaan komputer dan teknologi informasi di kalangan masyarakat, maka upaya kearah aktivitas investigasi dan pengungkapan barang buktinya pun berubah ke arah digital.

Menurut Yudi, ahli digital forensik akan memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya dalam hal komputer dan teknologi informasi untuk membantu mendapatkan bukti-bukti digital yang diperlukan dalam proses rekontruksi kasus yang diperlukan oleh penegak hukum ataupun pihak-pihak yang berkepengan dengan aktivitas investigasi.

Cybercrime yang melibatkan masyarakat luas adalah tugas dari dari aparat penegak hukum untuk menanganganinya, namun aktrivitas ke arah cybercrime dapat juga terjadi secara internal dalam lingkungan korporasi atau institusi. Apabila hal itu terjadi maka pihak-pihak korporasi atau institusi juga memerlukan bantuan ahli digital forensik untuk mendapatkan data dan fakta yang diperlukan untuk memahami kasus atau kejadian yang dianggap merugikan tersebut.  

Dengan demikian profesi digital forensik ini tidak selalu terkait dengan profesi penegak hukum saja. Namun juga diperlukan secara luas oleh masyarakat untuk membantu proses investigasi terhadap hal-hal yang dianggap merugikan masyarakat (bisa korporasi ataupun individu).

"Bahkan dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa kasus cybercrime yang ditangani oleh aparat hukum hanya berkisar 40%, sedangkan yang 60% justru ditangani oleh pihak swasta atau private investigator karena melibatkan kasus-kasus yang terjadi pada korporasi," ungkap Yudi yang juga member High Technology Crime Investigation Association (HTCIA).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×