kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sejak 2013, vonis bebas kasus korupsi meningkat


Minggu, 07 Februari 2016 / 13:27 WIB
Sejak 2013, vonis bebas kasus korupsi meningkat


Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Indonesia Corruption Watch (ICW) memantau 524 perkara korupsi dan 564 terdakwa yang ditangani Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan kejaksaan sepanjang tahun 2015.

Dari hasil rekap tersebut, diketahui sebanyak 68 terdakwa divonis bebas. "Sebanyak 461 terdakwa dinyatakan bersalah dan 68 terdakwa di antaranya divonis lepas atau bebas oleh pengadilan," ujar peneliti ICW Aradila Caesar di kantor ICW, Jakarta, Minggu (7/2/2016).

Tren vonis bebas terdakwa perkara korupsi terus meningkat sejak tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2013, terpidana yang bebas sebesar 16 orang. Sementara pada 2014, terpidana yang divonis bebas sebanyak 28 orang.

Arad mengatakan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh yang paling banyak membebaskan terdakwa korupsi, yakni 10 orang. Disusul oleh Pengadilan Tipikor Ambon yang membebaskan 9 orang.

Pengadilan Tipikor Padang dan Banjarmasin serta Mahkamah Agung telah membebaskan 6 terdakwa selama tahun 2015. Sisanya, sejumlah terdakwa dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor Kupang, Jambi, Pekanbaru, Jayapura, Surabaya, Makassar, Medan, hingga Denpasar.

"Secara umum, apa yang dihasilkan Pengadilan Tipikor masih mengkhawatirkan," kata Arad.

Bahkan, kata Arad, ada juga yang divonis tinggi oleh jaksa, tetapi diputus bebas oleh hakim.

Seperti dalam kasus yang menjerat mantan Bupati Seluma, Murman Effendi. Ia divonis bebas oleh PN Bengkulu setelah jaksa menuntut hukuman tujuh tahun penjara.

Dalam kasus pencucian uang terkait proyek Migas di Batam, terdakwa Deki Bermana yang  dituntut 15 tahun, divonis bebas oleh PN Pekanbaru.

"Terdakwa Danurlina dituntut 7,5 tahun, dibebaskan oleh PN Padang," kata Arad.

Oleh karena itu, ICW mendorong adanya pedoman pemidanaan agar penghitungan putusannya jelas. Hal tersebut diperlukan untuk meminimalisir putusan ringan hingga putusan bebas terhadap terdakwa.

"Jadi majelis hakim tidak akan seenaknya memutuskan. Tapi pedoman pemidanaan dianggap mengganggu kemandirian hakim," kata dia. (Penulis: Ambaranie Nadia Kemala Movanita)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×