kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PP 36 bisa pengaruhi investasi & minat belanja


Minggu, 24 September 2017 / 18:33 WIB
PP 36 bisa pengaruhi investasi & minat belanja


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan. Aturan ini adalah turunan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.

Dalam naskah peraturan itu, bagi wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak, PP ini berlaku atas harta bersih yang belum atau kurang diungkap, termasuk bagi wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan pengalihan dan/atau repatriasi harta.

Sementara bagi wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak, PP ini menyasar harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh.

Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, adanya aturan baru ini berpengaruh ke iklim investasi dan minat masyarakat untuk belanja. Pasalnya, semakin banyak belanja harta artinya pelaporan SPT-nya harus lebih tertib.

“Orang akan berpikir lebih baik tahan belanja. Cuma laporin saldo rekening saja,” katanya kepada KONTAN.co.id, Sabtu (23/9) kemarin.

Adapun pada PP 36 itu apabila ada harta tersembunyi, bagi perusahaan atau badan usaha akan dikenakan PPh final dengan tarif 25%. Hal ini menurut Bhima juga membuat perusahaan cenderung menahan ekspansi.

“Terutama yang belum ikut tax amnesty. Atau akan banyak transaksi yang off balance sheet alias tidak tercatat di laporan keuangan perusahaan,” jelasnya.

Ia melanjutkan, dengan semakin gencar pajak ngejar badan usaha dan wajib pajak pribadi, dikhawatirkan semakin besar pula tax avoidance-nya.

Menurut Bhima, besaran underground economy diprediksi mencapai 8,33% dari total PDB. Sementara pendapatan pajak yang hilang setara 1% dari total PDB Indonesia di tahun 2013. Angka ini diprediksi akan bertambah besar seiring pengejaran pajak yang makin agresif.

Nah, apabila masyarakat merasa terancam karena pajak makin agresif, bisa jadi underground economy marak lagi. Banyak transaksi yang dilakukan di bawah tangan alias tanpa pelaporan pajak.

“Membeli rumah misalnya tanpa ke notaris, asalkan saling percaya transaksi bisa berlanjut. Begitu juga jual beli mobil bekas tanpa balik nama pemilik,” jelasnya.

Oleh karena itu pemerintah sebaiknya memikirkan dampak pengejaran pajak bagi psikologis masyarakat. Jangan sampai penerimaan pajak justru turun alias kontraproduktif karena masyarakat malah takut dengan petugas pajak.

Menurut Bhima, pemerintah lebih baik memutar otak untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan asing yang diduga memanipulasi laporan keuangan sehingga pemasukan PPh badan lebih besar. Kemudian ekstensifikasi atau perluasan objek kena cukai seperti kantong plastik, minuman berpemanis jangan sampai lolos lagi di 2018 setelah sebelumnya tidak berhasil dipungut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×