kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perppu AEoI, pakar beda pandangan


Selasa, 18 Juli 2017 / 22:39 WIB
Perppu AEoI, pakar beda pandangan


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Usai menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, pemerintah menunggu keputusan Komisi XI DPR RI untuk mengesahkan Perppu tersebut menjadi UU yang sifatnya permanen.

Sebelum memutuskan, Komisi XI meminta pendapat para pakar terkait apakah Perppu ini bisa disahkan atau tidak. Pasalnya, DPR saat ini masih bingung lantaran substansi dalam Perppu sendiri tidak bisa diubah oleh DPR. Pilihannya hanya dua, setuju atau tidak setuju.

Dari tiga pakar yang dihadirkan oleh DPR, muncul pandangan yang berbeda, yakni Perppu dipandang dari segi pajak dan dari segi likuiditas domestik. Pandangan dari pakar ini nantinya akan dijadikan bahan diskusi masing-masing fraksi.

Dari kepentingan Perppu sendiri untuk penerimaan negara dari pajak, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo mengatakan bahwa Perppu ini perlu didukung oleh DPR untuk disahkan menjadi UU. Pasalnya, sistem pajak yang self assessment perlu instrumen untuk memonitor wajib pajak, yaitu akses terhadap data keuangan.

“Mampukah orang pajak untuk deteksi SPT wajib pajak atas kebenaran jumlahnya, kelengkapan itemnya, dan kejelasan sumbernya? Di sinilah masalah pokoknya. Karena UU Perpajakan jelas sekali, bahwa tidak mungkin orang pajak bisa memonitor atas setiap tambahan kemampuan ekonomis,” kata dia di Gedung DPR, Selasa (18/7).

Selama ini, menurut Hadi, kesulitan mencari informasi menyangkut transaksi keuangan perusahaan maupun individu. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa Perppu ini perlu disahkan oleh DPR demi mendukung kerja dari otoritas pajak.

Di sisi lainnya, Ekonom Aviliani yang mewakili Perbanas mengatakan bahwa pada asarnya yang mendesak dari dikeluarkannya Perppu ini adalah terkait dengan pelaksanaan Automatic Exchange of Information (AEoI) sehingga seharusnya Perppu ini lebih fokus ke nasabah asing.

Aviliani menilai, bila pun wajib pajak domestik harus diikutsertakan, pemerintah harus mempertimbangkan kemungkinan masyarakat panik.

Dirinya juga mempertanyakan jaminan kerahasiaan data nasabah yang diberikan oleh bank kepada Ditjen Pajak. Apabila data itu disalahgunakan, nasabah menurut dia akan menyalahkan bank. Oleh karena itu perlu ada kejelasan soal pihak mana saya yang bisa mengakses data tersebut.

“Jangan sampai pemberian data menggunakan flashdisk. Harus dengan sistem yang ada, bisa dengan sistem PPATK. Bisa juga menggunakan SIPINA milik OJK. Jadi tidak lagi secara manual, kalau manual bahaya untuk nasabah khususnya debitur,” ujarnya.

Adapun bankir senior Arwin Rasyid mengkritik batasan pelaporan rekening Rp 1 miliar bagi nasabah domestik yang seharusnya penyelenggaraannya menunggu revisi UU KUP dan UU Perbankan.

Pasalnya akan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk kembali ke transaksi berbasis tunai. Menurut dia, transaksi di perbankan harus didorong agar underground economy Indonesia yang selama ini masih tinggi bisa ditekan.

“Underground economy harus dididorong penekanannya untuk menaikkan tax rasio. Kejar sumbernya,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×