kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah harus menggenjot ekspor dan memperbaiki rasio utang


Senin, 12 Februari 2018 / 06:43 WIB
Pemerintah harus menggenjot ekspor dan memperbaiki rasio utang
ILUSTRASI. Suasana Pelabuhan Tanjung Priok


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah harus bisa mendongkrak kinerja ekspor barang dan jasa agar rasio utang luar negeri terhadap pos penerimaan transaksi berjalan atau current account receipts bisa berkurang. Peningkatan ekspor juga bisa menurunkan rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang saat ini sebesar 34%.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, saat ini rasio utang luar negeri Indonesia terhadap pos penerimaan transaksi berjalan mencapai 170%. "Kita perlu mendorong ekspor dan mendorong investasi yang orientasi ekspor supaya rasio utang luar negeri terhadap penerimaan ekpor barang dan jasa menjadi lebih baik," kata Mirza, pekan lalu.

Rasio utang RI terhadap penerimaan transaksi berjalan memang cukup tinggi. Mirza mengatakan, Thailand memiliki pendapatan ekspor yang besar, sehingga rasio utang terhadap pos penerimaan transaksi berjalan di bawah 100%. Hanya saja saat ini rasio utang Thailand terhadap PDB lebih tinggi sebesar 44%.

Tingginya rasio utang terhadap penerimaan berjalan, menurut Direktur Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengambarkan, kondisi kemampuan pembayaran utang Indonesia mengkhawatirkan.

Kekhawatiran itu menurutnya disebabkan beberapa faktor. Pertama, ekspor barang jasa lebih kecil daripada utang. Kalau dibandingkan ekspor barang dan jasa 170%. Artinya, kemampuan bayar utang dari ekspor barang jasa lebih besar pasak daripada tiang. "Mesti digenjot penerimaan dari ekspor supaya bisa di bawah 100% untuk bisa mengejar pengembalian utang," kata Faisal kepada KONTAN, Minggu (11/2).

Kedua, porsi utang luar negeri (ULN) yang cukup besar. Menurut Faisal walau negara lain banyak yang rasio utang terhadap PDB lebih dari 100%, seperti Jepang, namun mayoritas adalah utang dalam negeri. Berbeda dengan Indonesia yang dari luar negeri.

Ketiga, pertumbuhan ULN yang makin cepat. Hal ini turut didorong oleh penerbitan Komodo Bonds oleh korporasi untuk pembangunan infrastruktur. Makin lama makin besar. Hal ini yang kami khawatirkan karena ekspor barang dan jasa kita jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, jelasnya.

Dengan percepatan pertumbuhan ekspor barang dan jasa yang tidak sepadan dengan pertumbuhan ULN, menurut Faisal, beban utang dari tahun ke tahun makin besar. Itulah yang membuat kemampuan membayar utang tidak semakin membaik.

Apalagi menurut Faisal, di 2018 ini ada kenaikan utang jatuh tempo dan bunga sampai 350% dibandingkan 2017. Sehingga di 2018 Indonesia harus bayar utang dan bunga sekitar Rp 600 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×