kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Moody's beri sinyal kenaikan rating


Rabu, 07 Februari 2018 / 11:26 WIB
Moody's beri sinyal kenaikan rating
ILUSTRASI. Moodys Investors Service


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investors Services mempertimbangkan untuk meningkatkan peringkat surat utang Indonesia. Moody's telah menyematkan rating Baa3 atas utang Indonesia sejak tahun 2012. Moodys siap menaikan peringkat utang Indonesia satu level lagi, jika melihat perbaikan di sejumlah indikator ekonomi makro.

Pengumuman ini disampaikan Moody's saat merilis riset soal profil kredit Indonesia, Selasa (6/2). Setahun lalu, tepatnya 8 Februari 2017, Moody's memperbaiki outlook sovereign credit rating Indonesia dari stable menjadi positive dan mengafirmasi rating Indonesia, yaitu Baa3.

Tahun ini, Moody’s akan memperhatikan kerentanan eksternal Indonesia. Jika ingin peringkatnya naik, Indonesia disarankan melakukan peningkatan kelembagaan dan daya tahan terhadap perubahan dana asing. "Salah satu indikasi positif adalah pengurangan ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri," demikian salah satu poin di riset Moody’s.

Moody's menyoroti utang luar negeri Indonesia, yang belakangan ini memang meningkat tajam. Hingga November 2017, total utang luar negeri mencapai US$ 347,29 miliar atau bertambah sebanyak US$ 27,26 miliar sejak akhir tahun 2016. Penambahan ULN terbesar berasal dari pemerintah, yang sudah berjumlah US$ 173,16 miliar, meningkat US$ 18,29 miliar.

Moody's menyatakan, untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri, pemerintah harus meningkatkan pendapatan domestik. Basis pajak harus diperluas agar penerimaan kian besar.

Laporan Moody’s juga menganalisa, pendapatan pemerintah berpotensi meningkat pada tahun ini. Ini terdorong oleh pertumbuhan ekonomi yang diprediksi sekitar 5,2%-5,3% year-on-year.

Sudah membaik

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara optimistis Indonesia akan mendapatkan kenaikan peringkat utang tersebut. Sebab, kondisi ekonomi 2017 terbilang baik, yakni tumbuh 5,07%. "Lalu inflasi di 3,6% dan fiskal dengan defisit 2,5%. Capaian penerimaan pajak apalagi PPN bisa tumbuh di atas 16%, saya rasa kondisi ekonomi kita secara fundamental, makro fiskalnya cukup terjaga," jelas Suahasil di Gedung DPR RI, Selasa (6/2).

Menurut Suahasil, indikator ekonomi makro tersebut adalah modal bagus untuk menarik kepercayaan investor. "Ini yang akan kami sampaikan kalau ada visit karena Moody’s ini kan terbitkan studi ya, tapi untuk penilaian rating mereka akan menjadwalkan kapan waktunya," papar Suahasil.

Ekonom BCA David Sumual mengatakan, concern Moody’s sudah beralih dari yang sebelumnya mencermati kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) dan subsidi, sekarang ke masalah fiskal dan ketergantungan terhadap pendanaan luar negeri. David menyatakan, Indonesia perlu lebih banyak diversifikasi pendanaan, sehingga mengurangi ketergantungan utang ke luar negeri.

"Sekarang trend pendanaan di Indonesia sudah bagus, dapen (Dana Pensiun) sudah berperan di SPN (surat perbendaharaan negara). Untuk pendanaan proyek, bank-bank juga masuk. Peran swasta terus didorong," terang David.

Kini tantangan yang harus dihadapi pemerintah menurut David adalah memperbesar penerimaan pajak. Penerimaan pajak tahun ini perlu dise-imbangkan kembali dengan kemungkinan realisasinya. Pada saat bersamaan, tax ratio harus ditingkatkan. "Tapi jangan sampai mengganggu confidence," jelas David.

Ekonom Institute for Development Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pertumbuhan ekonomi hanya sebagian kecil pertimbangan dalam penentuan rating utang. Namun, sisi fiskal itulah yang perlu mendapat perhatian pemerintah.

"Jangan lupa bahwa tekanan Fed rate naik, beban utang semakin mahal. Rupiah juga mengalami depresiasi, utang makin mahal karena banyak SBN Valas. Beban-beban itu yang harus di-address pemerintah,” ujar Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×