kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mewaspadai kenaikan rasio utang pemerintah


Sabtu, 25 Februari 2017 / 15:00 WIB
Mewaspadai kenaikan rasio utang pemerintah


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus, Ramadhani Prihatini | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Nilai utang pemerintah terus bertambah. Sampai akhir Januari 2017, Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, utang pemerintah bertambah 2,37% dari bulan sebelumnya menjadi Rp 3.549,17 triliun.

Utang itu terdiri Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 2.815,71 triliun dan pinjaman lain Rp 733,46 triliun. Data juga menunjukkan penambahan utang neto Januari 2017 sebesar Rp 82,21 triliun yang berasal dari kenaikan SBN sebesar Rp 81,88 triliun dan pinjaman Rp 0,33 triliun.

Meski naik, Bank Indonesia (BI) menilai rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sehat karena masih 28%. Bahkan bila digabungkan dengan utang swasta, rasio total utang Indonesia sebesar 35% terhadap PDB. "Masih aman, batas nya 60% dari PDB," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, Jumat (24/2).

Utang pemerintah akan bertambah seiring dengan adanya lelang Surat Utang Negara (SUN) dengan target indikatif sebesar Rp 15 triliun dan target maksimal Rp 22,5 triliun. Surat utang yang akan dilelang pada Selasa, 28 Februari 2017 itu untuk memenuhi sebagian target pembiayaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2017.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistyaningsih juga melihat rasio utang Indonesia masih aman. Namun tidak bisa dilihat hanya itu saja, sebab ada defisit primer APBN yang terus membesar. Itu bahaya, katanya.

Waspada rasio naik

Keseimbangan primer yang minus menunjukkan untuk membayar bunga utang, pemerintah harus mencari utang lain. Sementara jika positif, pemerintah punya sisa dari penerimaan negara untuk membayar bunga utang.

Data Kemkeu menunjukkan, keseimbangan primer sempat surplus pada 2010 sebesar Rp 41,5 triliun dan turun menjadi Rp 8,8 triliun pada 2011. Keseimbangan primer mulai defisit pada 2012 sebesar Rp 52,7 triliun dan bertambah menjadi Rp 98,6 triliun pada 2013.

Pada 2014, defisit keseimbangan primer turun menjadi Rp 93,2 triliun dan naik lagi pada 2015 menjadi Rp 142,4 triliun. Tahun lalu, defisit keseimbangan primer Rp 105,5 triliun dan di 2017 menjadi Rp 111,4 triliun.

Ekonom SKHA Institute Eric Sugandi bilang, pemerintah harus mewaspadai tren rasio utang yang meningkat, walau tidak ada batasan pasti rasio aman utang publik terhadap GDP. Sebab, beberapa negara seperti Jepang memiliki rasio utang di atas 200% dan AS di atas 100%. Perbedaannya, menurut Eric, utang Pemerintah Jepang mayoritas ke masyarakatnya sendiri sehingga relatif aman terhadap tekanan eksternal. Ini berbeda dengan utang pemerintah Indonesia yang share utang luar negerinya masih signifikan.

Ada beberapa cara menurunkan rasio utang terhadap GDP nominal. Salah satunya menaikkan pertumbuhan ekonominya sehingga GDP nominal besar. Cara kedua dengan mengurangi utang dan mempercepat pembayaran utang. Ketiga, kombinasi dua cara tersebut, kata Eric.

Tahun ini, Eric memproyeksikan rasio utang pemerintah terhadap nominal GDP di sekitar 30%. Kenaikan rasio utang terjadi karena pemerintah berupaya mengejar target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti dengan membangun infrastruktur yang butuh pembiayaan jangka panjang Sementara pembiayaan jangka pendek untuk pembiayaan defisit APBN lewat penerbitan SBN, ujarnya.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede bilang, walau dari tahun ke tahun nominal utang meningkat, tapi rasio utang luar negeri dari GDP masih terkendali. "Kita lihat trennya akan manageable beberapa tahun ini," katanya.

Walau masih aman, Ekonom Indef Eko Listiyanto bilang, pemerintah tidak cukup efektif memanfaatkan utang, terbukti dari pertumbuhan ekonomi yang tidak terakselerasi meskipun utang meningkat. "Ini karena perencanaan APBN kurang matang dan implementasi anggaran lemah," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×