kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Merintis sistem tata kelola pertanahan desa


Selasa, 05 Juni 2018 / 20:52 WIB
Merintis sistem tata kelola pertanahan desa
ILUSTRASI. PENYERAHAN SERTIFIKAT TANAH UNTUK RAKYAT


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masih maraknya kasus sengketa pertanahan salah satunya disebabkan oleh administrasi pertanahan yang masih kacau. Sementara kesadaran masyarakat terhadap tertib adaministrasi pertanahan juga masih rendah akibat ketidaktahuan hukum dan minimnya informasi mengenai prosedur pengurusan bukti kepemilikan hak atas tanah atau sertifikat.   

Celakanya, pelayanan birokrasi pertanahan yang masih panjang dan berbelit pada akhirnya berpeluang membuka praktik pungutan liar dari satu meja ke meja lainnya.  Alhasil, masyarakat semakin malas mengurus sertifikat tanah karena terkesal mahal dan ribet. Padahal keberadaan sertifikat ini penting sebagai jaminan atas kepemilikan tanah secara sah.

Fakta inilah yang mendorong Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengisisiasi program sosialisasi dan pendampingan untuk membangun Sistem Informasi dan Manajemen Administrasi Pertanahan dalam Rangka Reformasi Agraria di Tingkat Desa (SIRAP–Desa). Kegiatan pengabdian masyarakat yang merupakan bentuk dari Tridarma Pendidikan Tinggi ini sudah berlangsung sejak 2015 lalu.

Siti Hajati Hoesin, Pengabdi Utama pada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) FH UI mengatakan, untuk tahun ini program sosialisasi dan pendampingan administrasi pertanahan akan dilaksanakan di Desa Cisomang Barat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. "Rencananya pada Juli nanti," katanya kepada KONTAN, Selasa (5/6).

Pilihan lokasi Kabupaten Bandung Barat karena perkembangan ekonomi yang demikian pesat, dalam hal ini pembangunan perumahan dan industri plus perkantoran semakin meningkat. Sementara masyarakat setempat berpotensi kehilangan kesempatan untuk tetap memiliki tanah sebagai warga desa tersebut jika tidak memiliki bukti kuat secara legalitas hukum.

Menurut Siti, tindak lanjut dari program ini adalah sosialisasi dan penyuluhan kepada perangkat kecamatan, desa, dan masyarakat umum, pengukuran dan pemetaan tanah alih media buku Letter C, penataan arsip vital pertanahan desa, dan instalasi Sistem Informasi Administrasi Pertanahan Desa Dasar. Kemudian, pendampingan kepada masyarakat dalam rangka penerbitan bukti hak atas tanah atau sertifikat dan pendampingan kepada desa berupa penataan persuratan dan pengarsipannya, guna pelayanan kepada masyarakat dengan baik.

"Selain sosialisasi, penyuluhan hukum, kami juga melakukan pelatihan mediasi, pengukuran, rancang bangun Sistem Informasi Perangkat Desa, dan pendampingan, pemberkasan, pendaftaran tanah untuk pertama kali dengan output berupa sertifikat tanah," papar Siti.

Sejatinya kegiatan ini merupakan kelanjutan dari program serupa di desa tersebut yang telah dilaksanakan sejak 2015 lalu. Menurut Siti, edukasi dan pendampingan tetang tata kelola administrasi pertahan ini memang harus berkesinambungan, sehingga tidak cukup dengan sosialisasi saja. Sayangnya, kegiatan tersebut sempat vakum pada tahun 2016 karena kendala pembiayaan. Selama ini, untuk menggelar kegiatan tersebut mendapat bantuan hibah dari pihak universitas.

Namun pada tahun 2017, proyek pengabdian masyarakat ini kembali dilaksanakan di Desa Tanimulya dan Desa Sukajaya, Kabupaten Bandung Barat. Selain Desa Cisomang, Siti menyebutkan, pihaknya mengusulkan ke pimpinan DRPM UI untuk melaksanakan program tersbut untuk desa di Lombok Tengah, pada tahun ini. Desa-desa tersebut menjadi objek kegiatan karena setelah melewati survei lapangan banyak ditemukan masalah-masalah pertanahan. Adapun persoalan pertanahan tersebut antara lain, tidak tertibnya tata kelola pertanahan di tingkat desa, administrasi pertanahan tidak terdokumentasikan dengan baik, yang menyebabkan riwayat tanah tidak jelas.

Lantas, sebagian besar warga tidak memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah yang sah, hingga batas-batas tanah antartetangga yang tidak jelas memantik konflik kepemilikan. Tak cuma itu, Tim Riset dan Pengabdian Masyarakat FH UI menemukan adanya sertifikat ganda maupun yang tumpang tindih, sertifikat fiktif yang digadaikan pada bank, transaksi jual beli tanah dibawah tangan yang rawan sengketa di kemudian hari.

Selanjutnya, permasalahan pembagian waris berupa tanah, memicu perebutan bagian tanah, tanah berstatus sengketa, dan umumnya menempuh jalur hukum. Problem lainnya adalah ketidaktahuan masyarakat mengenai hukum pertanahan dan kurangnya informasi mengenai prosedur pengurusan bukti kepemilikan hak atas tanah. "Pada kenyataannya, pelayanan birokrasi yang masih panjang, berpeluang adanya pungutan liar dari satu meja ke meja lainnya," ungkap peneliti pada Center for Law and Good Governance Studies.

Ia mencontohkan, lewat Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digagas pemerintah pembuatan sertifikat tanah tidak lebih dari enam bulan. PTSL merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara serentak bagi semua objek pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dalam satu wilayah desa dan kelurahan.

Namun, kenyataannya masih banyak warga yang tidak terakomodasi lewat program sertifikat gratis tersebut. Ketika, pihak FH UI memberikan pendampingan dalam pembuatan sertifikat untuk warga setempat, proses pembuatannya sekitar enam bulan. Adapun biaya untuk pengurusannya sekitar Rp 1 jutaan. "Tahun 2015 sudah menghasilkan tujuh sertipikat hak atas tanah," ungkap Siti.

Bertolak dari permasalahan yang ada dan memperhatikan PTSL, maka penataan harus dimulai dari tingkat desa. Lebih lanjut Siti menjelaskan, tujuan kegiatan yang digagas FH UI ini adalah agar tercipta sistem pendaftaran tanah yang baik dari tingkat desa, tertib administrasi dan untuk menghindari permasalahan pertanahan (konflik batas dan kepemilikan). "Menurut kami, kegiatan sosialisasi dan pendampingan ini sejalan dengan program pemerintah dalam rangka penerbitan sertifikat hak atas tanah. Jadi tidak semata-mata dari pemerintah. Harus dimulai pendataan dari tingkat desa dan dibantu dengan sistem yang memadai," tukas dosen bidang perburuhan ini.

Siti juga menyebutkan, publikasi dari kegiatan tersebut juga diperlukan agar pemerintah dan aparat desa di seluruh Indonesia dapat menata dan memiliki data yang lengkap tentang tanah di wilayah masing-masing, untuk menghindari masalah batas dan bukti kepemilikan tanah.

Heru Susetyo, Manajer Riset & Publikasi FH UI menambahkan, pihaknya menggagas SIRAP-Desa dengan Kabupaten Bandung Barat sebagai proyek percontohan. Kalau hal ini berhasil bisa diterapkan di wilayah-wilayah lainnya. "Memang ini bukan hal baru, BPN sudah melakukannya. Tapi kami sebagai unsur perguruan tinggi juga terpanggil untuk berkontribsusi dalam penataan administrasi pertanahan," ujarnya. Dengan mendata luas tanah dan batas-batasnya, Heru menuturkan akan memudahkan pihak BPN dalam menginventarisasi data pertanahan. "Harapan kami dengan menggunakan teknologi dan GPS agar semua orang bisa memahami informasi pertanahan yang user friendly," harapnya.

Namun tantangannya adalah di desa-desa umumnya belum memiliki pengarsipan data tanah secara baik karena keterbatasan sumber daya manusia, terlebih peta tanah yang representatif. Untuk itulah, FH UI melakukan program sosialisasi dan pendampingan dalam implementasi SIRAP-Desa dengan menyusun peta tanah desa secara digital.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×