kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mantan presiden bikin lembaga, itu lumrah


Minggu, 13 Agustus 2017 / 22:29 WIB
Mantan presiden bikin lembaga, itu lumrah


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - Semua warga negara Indonesia berhak mendirikan lembaga, institute dan organisasi apapun, termasuk para mantan presiden. Empat mantan presiden Indonesia setelah Soeharto mendirikan lembaga maupun institute.

Empat mantan presiden tersebut, antara lain B.J Habibie yang mendirikan Habibie Center di tahun 1998, kemudian Abdurrachman Wahid (Gus Dur) mendirikan Wahid Foundation di tahun 2004 dan Megawati membuat Megawati Institute di tahun 2009. Terakhir, SBY baru saja meluncurkan The Yudhoyono Institute pada bulan ini.

Pengamat politik senior Centre for Strategic of International Studies (CSIS), J Kristiadi menganggap fenomena tersebut lumrah dilakukan oleh para tokoh senior suatu negara. Mungkin saja, mereka ingin memberikan sumbangsih pemikiran terhadap kemajuan bangsa.

"Negara sebesar ini tentu memerlukan banyak pusat studi untuk memberi solusi. Kita tidak bisa membangun negara ini tanpa pemikiran yang obyektif dan rasional. Sebetulnya kalau ada orang yang mau membangun lembaga studi seperti itu, tentu akan sangat membantu," terang Kristiadi kepada KONTAN, Minggu (13/8).

Ia pun mengungkapkan, motif politik tak dapat dihindarkan dari lembaga atau institusi bentukan para mantan presiden ini. Akan tetapi, selama lembaga tersebut menghasilkan pemikiran dan hasil penelitian yang baik untuk membantu suatu kebijakan, tidak masalah.

Kristiadi menegaskan, jika lembaga tersebut dibentuk hanya untuk back-up politik saja, maka dipastikan akan kehilangan kredibilitas, termasuk pendirinya. "Misal sebuah lembaga mengeluarkan hasil survei hanya untuk membela kepentingan politiknya, padahal tidak rasional. Maka, lembaga sejenis lainnya, bahkan masyarakat bisa mendebat," tuturnya.

Ia menjelaskan, masyarakat bisa menilai mana hasil studi yang obyektif dan mana yang tidak. Otomatis, lembaga yang hanya menjadi kendaraan politik, akan tergeser begitu saja. "Lama-lama tidak akan ada yang mau membaca hasil studinya," kata Kristiadi.

Mantan presiden yang membentuk lembaga ini tak hanya terjadi di Indonesia. Kristiadi bilang di negara lain, seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris juga terjadi hal serupa. "Tentu banyak dan tidak masalah, justru makin memperkaya hasil studi untuk kemajuan negara," ujarnya.

Di AS, Barack Obama mendirikan Obama Center, Bill Clinton membuat Clinton Foundation, sementara George W. Bush menginisiasi Bush Foundation. Sedangkan Mantan Perdana Inggris Menteri Tony Blair membuat Tony Blair Faith Foundation.

Cakupan bahasan lembaga yang dibentuk eks presiden AS pun beragam. Ada yang menjadi penyelenggara program kesenian, perawatan museum, penyedia beasiswa dan pelatihan bagi para pemuda. Adapula lembaga yang fokus pada penelitian dan advokasi mengenai kebijakan sosial, strategi politik, ekonomi, militer, teknologi, dan budaya.

Kristiadi berharap dengan bertambahnya lembaga bentukan tokoh-tokoh senior negeri ini, bisa membawa angin segar bagi gaduhnya informasi di masyarakat. Lewat hasil studi yang obyektif dan rasional, diharapkan mampu memperbaiki kondisi informasi yang makin keruh. "Sekarang, info di masyarakat itu keruh. Yang dipersoalkan menjadi instrumen politik adalah soal primordial dan fakta yang sudah melekat pada diri manusia," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×