kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebijakan ekonomi Trump berdampak ke Indonesia


Kamis, 15 Maret 2018 / 19:39 WIB
Kebijakan ekonomi Trump berdampak ke Indonesia
ILUSTRASI. Suasana Pelabuhan Tanjung Priok


Reporter: Havid Vebri | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Presiden Trump yang menetapkan tarif impor baja sebesar 25% dan alumunium sebesar 10% menuai protes dari sejumlah negara mitra dagang AS, termasuk Cina dan Eropa.

Tak pelak, kebijakan tersebut berisiko menimbulkan perang dagang, sehingga bisa menekan pertumbuhan ekonomi dunia. Pendapat tersebut disampaikan oleh Founder Indosterling Capital, William Henley menyikapi dampak kebijakan Trump.

Bloomberg Economics dalam laporan yang dirilis, Senin 13 Maret 2018, memproyeksikan ekonomi dunia akan tumbuh 0,5% lebih rendah pada 2020 dibandingkan jika kebijakan Trump tidak dibuat.

Ekonomi AS juga terkoreksi sekitar 0,9% pada 2020 dikomparasikan dengan situasi tanpa kenaikan bea masuk baja dan aluminium AS. Sedangkan bagi Indonesia, kata William, perang dagang juga berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi tertekan.

Hal tersebut terjadi karena China sebagai mitra dagang terbesar AS, berpotensi mengurangi impor, tidak terkecuali dari Indonesia. Itu artinya, ekspor Indonesia dapat mengalami kontraksi. "Hal tersebut patut diwaspadai. Sebab, komponen ekspor merupakan salah satu motor pertumbuhan ekonomi," ujar William, Kamis (15/3).

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor memberikan kontribusi sebesar 20,37% dari struktur produk domestik bruto (PDB) pada tahun lalu dengan pertumbuhan mencapai 9,09%.   

Namun, menurut William, Indonesia tidak perlu terlalu khawatir karena sudah memiliki pengalaman menghadapi perang dagang. Baik secara tidak langsung seperti yang dipicu AS maupun secara langsung.

Perang dagang secara langsung yang sekarang menjadi perhatian pemerintah adalah langkah Parlemen Uni Eropa melarang penggunaan minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku biofuel mulai 2021.

Parlemen Uni Eropa menilai biofuel yang berbahan baku CPO tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca. Apabila permintaan CPO terus meningkat, maka pembukaan lahan perkebunan akan membidik wilayah-wilayah rentan seperti gambut.

Penilaian Parlemen Eropa tak jauh berbeda dengan kampanye negatif terhadap CPO Indonesia beberapa tahun lalu, seperti kelapa sawit ditanam di atas lahan yang dibuka lewat pembalakkan liar.

"Nah, untuk menghadapi potensi perang dagang serupa di masa mendatang, maka pemerintah mau tidak mau harus memperluas pasar ekspor," ujarnya.

Jangan hanya bergantung kepada negara atau kawasan zaman old seperti AS, Cina, India, dan Uni Eropa. Menurutnya, Indonesia juga harus mulai membidik negara-negara di kawasan lain, seperti Afrika maupun Amerika Selatan. Salah satu langkah yang sudah diinisiasi namun belum maksimal adalah peran duta besar.

Tanggung jawab duta besar lewat atase, dituntut untuk bekerja lebih ekstra. Utamanya bagaimana mengupayakan peningkatan ekspor Indonesia dengan berperan aktif menyosialisasikan produk andalan Indonesia kepada pemerintah dan pengusaha di lokasi mereka bertugas. "Selain itu diversifikasi produk ekspor juga harus dipercepat," ucapnya.

Sebab, ekspor Indonesia masih didominasi komoditas seperti batu bara, CPO, dan karet. Diversifikasi dapat diupayakan dengan cara meningkatkan produk ekspor nonkomoditas (manufaktur).

Namun, upaya ini pun tidaklah mudah. Apalagi, industri manufaktur dalam negeri terus mengalami kontraksi. Jalan keluar yang dapat diupayakan mengatasi ini harus komprehensif.

Mulai dari peningkatan sumber daya manusia (produktivitas tenaga kerja), beradaptasi dengan perkembangan produk terbaru di pasar global, hingga meningkatkan efisiensi produksi agar harga produk bersaing.

"Berbagai upaya itu penting untuk meminimalisir dampak perang dagang yang dipicu AS terhadap perekonomian nasional. Jikapun terpengaruh, maka Indonesia harus mampu memitigasi sehingga ekonomi dalam negeri tak guncang," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×