kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,59   -6,76   -0.73%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kasus Samad-BW berujung deponeering?


Jumat, 12 Februari 2016 / 07:03 WIB
Kasus Samad-BW berujung deponeering?


Sumber: Kompas.com | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Setelah menjadi polemik selama sekitar setahun, Kejaksaan Agung akhirnya memilih jalan mengesampingkan perkara yang menjerat dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Keputusan itu dipilih setelah Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar perkara hukum yang melibatkan KPK segera diselesaikan dengan langkah yang tidak melanggar hukum.

Langkah mengesampingkan perkara atau deponeering kasus Abraham-Bambang diketahui setelah Jaksa Agung HM Prasetyo mengirimkan surat ke Dewan Perwakilan Rakyat, yang kemudian diteruskan ke Komisi III DPR.

Deponeering diatur dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam Pasal 35 huruf c diatur bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Penjelasan Jaksa Agung - Jaksa Agung, HM Prasetyo, memberi penjelasan terkait eksekusi hukuman mati saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/1). Jaksa Agung juga menjelaskan bahwa eksekusi hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba tahap berikutnya akan segera dilakukan.

Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengungkapkan, dalam surat yang diterima pihaknya, ada tiga alasan yang diberikan Kejaksaan Agung untuk memberikan deponeering atas kasus Abraham dan Bambang.

Alasan tersebut adalah filosofis, sosiologis dan yuridis. "Alasan filosofis terjadinya kegaduhan publik karena terganggunya harmonisasi antarinstitusi penegak hukum. Sehingga hukum tidak dapat terwujud secara maksimal," kata Bambang.

Sementara, alasan sosiologisnya adalah karena terganggunya pemberantasan korupsi sebab tersangka adalah tokoh dan aktivis yang diakui luas oleh masyarakat.

"Alasan yuridis, dalam rangka untuk mewujudkan kepastian hukum," ucap Bambang Soesatyo.

Kasus Abraham-Bambang memang sempat membuat kegaduhan di publik. Hubungan antara KPK-Kepolisian-Kejaksaan juga sempat terganggu.

Oleh Kepolisian, Abraham ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan pemalsuan dokumen kartu keluarga dan kartu tanda penduduk atas nama Feriyani Lim.

Adapun, Bambang adalah tersangka perkara dugaan menyuruh saksi memberi keterangan palsu di sidang sengketa hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Saat itu, Bambang adalah kuasa hukum Ujang Iskandar, calon Bupati Kotawaringin Barat ketika itu.

Berbagai pihak, termasuk Abraham dan Bambang, menganggap polisi telah merekayasa kasus. Ada pula yang menilai polisi mencari-cari kesalahan lantaran kasus Abraham disebut terjadi tahun 2007 dan Bambang tahun 2010.

Tuduhan itu muncul karena penetapan tersangka keduanya dilakukan tak lama setelah KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka.

Kepolisian sudah membantah tuduhan itu. Kepala Polri Jenderal Pol Badrodin Haiti sempat menginginkan kasus keduanya disidangkan.

Deponeering ditolak

Komisi III kemudian mengambil sikap atas langkah Jaksa Agung itu. Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa, Komisi III menolak kasus Abraham-Bambang dikesampingkan.

Komisi III menilai, tak ada alasan bagi kejaksaan untuk mengesampingkan kasus Abraham dan Bambang. Sebab, keduanya tak lagi menjabat sebagai pimpinan KPK.

Berbeda dengan kasus yang menjerat Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, deponeering diberikan ketika keduanya masih menjabat pimpinan KPK.

Desmond menambahkan, deponeering justru bisa mendegradasi kerja institusi kepolisian yang sudah mengusut kasus ini.

Komisi III juga melihat deponeering menandakan tidak profesionalnya kinerja kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan.

"Ditambah catatan, yang dulu saat mereka jadi komisioner KPK mereka menantang tidak bersalah dan akan membuktikan di pengadilan. Kok sekarang kesannya mereka takut kalau deponering," ucap Desmond.

Meski demikian, keputusan Komisi III DPR itu tidak bersifat mengikat. Bahkan, menurut Desmond, sebenarnya kejaksaan tak perlu meminta pendapat DPR untuk melakukan deponeering.

Deponeering Bibit-Chandra

Kejaksaan Agung sebelumnya pernah menerbitkan deponeering atas kasus yang menjerat dua pimpinan KPK ketika itu, Bibit-Chandra.

Keduanya dituduh melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenangan. Saat itu, kepolisian menuduh Bibit dan Chandra serta sejumlah pejabat KPK menerima uang dari Anggoro Widjojo secara bertahap hingga mencapai Rp 5,1 miliar.

Uang itu diserahkan melalui perantaraan Anggodo Widjojo dan seorang bernama Ari Muladi.

Namun, belakangan terungkap adanya rekayasa setelah rekaman sadapan yang dilakukan KPK diputar di Mahkamah Konstitusi.

Jaksa Agung ketika itu Basrief Arief tetap mengambil langkah deponeering meskipun mayoritas fraksi di DPR menolak.

Saat itu Basrief menilai, membawa kasus Bibit-Chandra ke pengadilan lebih banyak mudarat dibandingkan manfaatnya.

Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dianggap sebagai jalan terbaik. Salah satu alasan untuk menyelamatkan gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

Status tersangka dua unsur pimpinan KPK akan berubah menjadi terdakwa saat perkara digelar di pengadilan.

Perubahan status ini akan berimplikasi Bibit-Chandra diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai unsur pimpinan KPK.

"Diberhentikan sementara akan berdampak kepada KPK sehingga secara manajerial dan teknis akan mendorong lemahnya etos kerja KPK. Dan memperlemah kepercayaan masyarakat kepada KPK sebagai trigger mechanism pemberantasan korupsi dan adanya tuntutan besar publik agar perkara tidak dilanjutkan," papar Barief ketika itu.

Dengan asas oportunitas yang dianut Indonesia, keputusan mengesampingkan perkara dinilai kejaksaan merupakan langkah terbaik untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi.

Lalu, bagaimana dengan perkara Abraham-Bambang? Setelah ditolak Komisi III, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan bahwa deponeering adalah hak prerogatifnya. Ia akan mengambil sikap nantinya. (Sandro Gatra)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×