kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini cara para mantan presiden sumbang pemikiran


Senin, 14 Agustus 2017 / 10:47 WIB
Ini cara para mantan presiden sumbang pemikiran


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Rizki Caturini

KONTAN.CO.ID - Para mantan presiden RI ramai-ramai bikin institute. Yang terbaru, ada The Yudhoyono Institute menjadi institute ke empat yang membawa nama besar mantan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yudhoyono Institute menjadi lembaga think thank yang fokus pada kajian isu strategis dalam lingkup nasional, regional dan global.

Sebelumnya, sudah ada tiga mantan presiden RI lain yang mendirikan institute yang mengusung misi dan visi masing-masing. Pertama, The Habibie Center yang didirikan oleh mantan presiden BJ Habibie sejak 10 November 1999. Lembaga ini memiliki misi menciptakan masyarakat demokratis secara kultural dan struktural serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Lembaga ini memiliki kegiatan menggelar konferensi internasional, memberikan beasiswa serta penghargaan bagi para ilmuan.

Kedua,The Wahid Institute milik keluarga mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berdiri pada tahun 2004. Wahid Institute memiliki misi menyebarluaskan nilai-nilai Islam yang damai dan toleran. Aktivitas institut ini adalah menggelar diskusi, advokasi, riset, monitoring isu keagamaan, mengkampanyekan Islam, demokrasi, dan pluralisme.

Ketiga, Megawati Institute yang memiliki misi merangkul kaum cendekiawan nasional dan menghasilkan rekomendasi yang aplikatif untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Aktivitas lembaga ini melakukan diskusi, publikasi jurnal dan buku serta memiliki sekolah pemikiran pendiri bangsa.

Pengamat politik senior Centre for Strategic of International Studies (CSIS) J Kristiadi mengatakan, fenomena bermunculannya institut yang mengusung nama besar mantan presiden ini lumrah dilakukan oleh tokoh senior suatu negara. Lewat institusi yang didirikan, mereka memberi sumbangsih pemikiran terhadap kemajuan bangsa. "Negara sebesar ini tentu memerlukan banyak pusat studi untuk memberi solusi. Kalau ada orang yang mau membangun lembaga studi, tentu akan sangat membantu," jelasnya kepada KONTAN, Minggu (13/8).

Tapi, kata Kristiadi, motif politik tak dapat dihindarkan dari pendirian lembaga atau institusi bentukan para mantan presiden ini. Namun selama lembaga itu menghasilkan pemikiran dan hasil penelitian yang baik untuk membantu suatu kebijakan, menurutnya tak jadi masalah.

Jika lembaga tersebut dibentuk hanya untuk back-up politik saja, Kristiadidi bilang maka lembaga akan kehilangan kredibilitas, termasuk pendirinya. Masyarakat bisa menilai mana hasil studi yang obyektif dan mana yang tidak. Lambat laun lembaga yang hanya menjadi kendaraan politik akan tergeser.

Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk menambahkan, berbagai lembaga tersebut ini bisa dibilang berhasil jika punya dampak lebih luas. "Kalau lembaga itu lagi-lagi hanya untuk kepentingan partai, maka saya rasa tidak akan efektif dan bertahan lama," jelasnya

Tren mantan presiden yang membentuk institut ini tak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat (AS) dan Inggris juga ada lembaga serupa. Di AS, Obama mendirikan Obama Center, Bill Clinton membuat Clinton Foundation dan George W. Bush menginisiasi Bush Foundation. Sedang Mantan Perdana Inggris Menteri Tony Blair membuat Tony Blair Faith Foundation. Fokus lembaga inipun beragam. Mulai penyedia beasiswa, penelitian dan advokasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×