kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia masih terkendala mental penguasa


Senin, 16 Oktober 2017 / 19:01 WIB
Indonesia masih terkendala mental penguasa


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tidak ingin ketinggalan peluang untuk menggarap sektor pariwisata di tengah bertumbuhnya masyarakat kelas menengah di berbagai belahan dunia pasca-krisis moneter pada 2008 silam.

Menurut catatan Bank Indonesia (BI), kontribusi sektor pariwisata terhadap cadangan devisa tahun 2016 hanya sebesar US $ 11,3 miliar. Kontribusi terhadap cadangan devisa di Indonesia ini cenderung terbatas apabila dibandingkan dengan negara lainnya. Padahal, potensinya besar mengingat Indonesia memiliki alam yang elok.

Adapun kontribusi sektor pariwisata terhadap pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan investasi di Indonesia masih rendah. BI mencatat, kontribusi pariwisata secara langsung terhadap PDB hanya 1,9% pada tahun 2017. Angka ini tertinggal dari kontribusi pariwisata di Spanyol yang 5,3% dan Singapura 4,7%.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyampaikan, tak ada jalan pintas untuk meningkatkan kontribusi pariwisata terhadap perekonomian Indonesia, di antaranya sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah serta revolusi mental.

“Butuh peranan Pemda yang probisnis, proinvestasi, dan mempermudah usaha. Deregulasi dan penyederhanaan perizinan. Ada Pemda tertentu yang izin untuk kolam renang, restoran, minum alkohol, dan izin lift, semuanya dipisah. Itu kan bisa dijadikan satu saja,” katanya.

Adapun selama ini permasalahan pada budaya pelayanan di beberapa daerah yang masih memiliki mindset penguasa. Meskipun butuh waktu untuk mengubah ini, revolusi mental semacam ini perlu dilakukan oleh setiap daerah.

“Kalau kita mental preman, mental penguasa, maka sulit tumbuh ekonominya. Kalau kita melayani, gengsi kepemimpinan lebih tinggi karena pencapaiannya besar,” jelasnya.

Di Sumatera Barat misalnya, daerah ini memiliki objek wisata alam jenis apa pun, tetapi sektor pariwisata di daerah ini sulit berkembang dan jauh tertinggal dengan daerah lain seperti Bali, Yogyakarta, Bandung, dan lain-lain.

Jumlah realisasi investasi di Sumatra Barat sendiri sepanjang 2012 hingga Semester I 2017 tercatat sebesar Rp 12,9 triliun dengan rata-rata pertumbuhan hingga 40% per tahun. Namun demikian, sektor yang mendominasi realisasi investasi di Sumatra Barat masih industri mineral dan logam, makanan dan minuman, dan sektor tanaman pangan.

Hingga tahun 2016, jumlah hotel di Sumatera Barat yang berbintang hanya 58 hotel dan yang non bintang 316 hotel sehingga totalnya 374 hotel. “Ini masih sepertiga dari jumlah hotel di Nusa Tenggara Barat yang mencapai 900-an atau Bali yang mencapai 2.000 hotel,” ungkap Gubernur Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Irwan Prayitno.

Ia juga mengemukakan bahwa jumlah wisatawan asing yang masuk ke Sumatera Barat tahun lalu bahkan hanya 46 ribu wisatawan, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 48 ribu wisatawan. Namun demikian, menurutnya hal ini bukan disebabkan oleh mental penguasa saja, tetapi juga infrastruktur.

“Iya, customer service ditingkatkan, tetapi apakah itu yang dibutuhkan? Di Eropa pernahkah kita dilayani? Turisnya jutaan orang. Jadi menurut saya bukan masalah customer service, melainkan infrastruktur dan lain-lain,” kata dia.

Ia menyebut, karakteristik masyarakat Sumatera Barat sendiri tidak bisa diubah dengan mudah. Maka, ia menilai, orang yang mau dilayani itulah yang salah apabila konteksnya di Sumatera Barat.

“Jangan suruh orang Minang layani, suruh orang Jawa, Sunda. Orang Minang jadi bos karena mengubah karakter agak susah juga,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×