kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indeks kualitas kewarganegaraan RI ranking 105


Minggu, 17 September 2017 / 21:36 WIB
Indeks kualitas kewarganegaraan RI ranking 105


Reporter: Choirun Nisa | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - Indeks kualitas kewarganegaraan atau Quality of Nationality Index (QNI) tahun 2016 tak beranjak dari posisi tahun sebelumnya, di ranking 105. Tapi, skor Indonesia membaik 1,4% poin. 

Sekadar informasi, QNI melihat kesuksesan suatu negara dalam konteks pengembangan manusia, kesejahteraan ekonomi dan kedamaian, serta stabilitas. Indeks yang dirilis konsultan Henley and Partners setiap tahunnya menggunakan empat indeks komponen penilaian, yaitu indeks pembangunan manusia, stabilitas internal dalam negeri, dan faktor eksternal seperti kemudahan pengurusan travel visa, kerja, dan tinggal di luar negeri.

Posisi Indonesia di posisi di atas Vietnam, Kamboja, dan Laos. Tapi, masih di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand.

Thailand mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 1,9% poin dan berada di peringkat 97. Sementara Malaysia pun mengalami peningkatan 2,2% poin dan berada di peringkat 45. Begitu pula Singapura yang naik 0,9% poin dan berada di peringkat ke-36.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai, Indonesia masih dalam tahap wajar berada di peringkat 105 dan tertinggal dari tiga negara tetangga terkuat di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Pasalnya, dari keempat elemen yang menjadi penilaian, tiga diantaranya memiliki nilai yang rendah jika dibandingkan dengan tiga negara kuat di ASEAN tersebut.

"Hanya pada elemen keempat, kita lebih baik karena Presiden Joko WIdodo memang berkomitmen mempermudah pengurusan visa dan semua izin ke luar negeri. Jika dulu harus mengurus dari negara asal, sekarang kita cukup mengurus ke bandara saja," ujar Lana ketika dihubungi KONTAN pada Minggu (17/9).

Lana menjelaskan, untuk komponen skala ekonomi, Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara tetangga. Pasalnya, skala ekonomi berhubungan erat dengan efisiensi dan biaya produksi, sementara Indonesia masih terkenal dengan negara yang high-cost efisiensi yang ditimbulkan dari kemacetan dan pungutan liar (pungli) yang masih menjamur.

Untuk komponen IPM, Indonesia masih kalah jauh dibanding tiga negara kuat di ASEAN. Hingga kini, IPM Indonesia masih berada di angka 68,9, sementara Malaysia, Singapura, dan Thailand sudah memasuki angka 70an.

Untuk stabilitas dalam negeri, Lana mengatakan hal ini adalah musiman karena terjadi ketika ada pemilu saja. Namun, ia mengakui banyaknya demonstrasi sebelumnya pun menimbulkan kekhawatiran akan kacau. Meski tidak terjadi, tetapi tetap saja menimbulkan efek pada kestabilan ekonomi.

"Jika melihat pada Thailand, mereka itu sering sekali mengadakan kudeta ketika pemilu, tapi berperangnya antar partai saja, rakyatnya tidak bermasalah karena rakyat masih mempercayai raja yang dapat mempersatukan mereka, ekonomi jalan saja. Kalau di kita kan beda, ada pemilu yang bertengkar bukan hanya partai, tapi rakyatnya ikut juga, jadi ramai kan," jelas Lana.

Untuk membuat Indonesia mampu masuk dalam peringkat 100 besar dan lebih, ekonom Samuel Aset Manajemen ini menyarankan perlunya peningkatan beberapa hal untuk meningkatkan nilai indeks kualitas kewarganegaraan. Beberapa caranya adalah dengan terus memperbaiki pengurusan izin visa kerja, membangun infrastruktur untuk mengurai kemacetan, menghentikan pungli di Indonesia, dan pelaksanaan OTT yang lebih sering.

"Untuk perbaikan IPM, itu harus jangka panjang jadi tidak bisa meningkatkan dalam setahun saja," kata Lana.

Tak berbeda jauh dengan Lana, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan KADIN Indonesia Benny Soetrisno menambahkan pentingnya meningkatkan skala ekonomi dari sisi pendidikan. Menurutnya, hingga kini pendidikan di Indonesia masih terus mengacu pada kurikulum saja tanpa melihat pada kondisi zaman.

"Seharusnya diubah karena kebutuhan dunia tak selalu sama. Jadi harusnya mengacu pada kebutuhan di lapangan kerja juga," kata Benny ketika dihubungi KONTAN.


 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×