kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

ICW: Biaya kampanye mahal jadi alasan korupsi


Selasa, 20 Februari 2018 / 21:37 WIB
ICW: Biaya kampanye mahal jadi alasan korupsi
ILUSTRASI. Barang bukti OTT KPK


Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 30 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi selama tahun 2017. Terdapat indikasi aksi korupsi tersebut dilakukan untuk melancarkan dana pemilahan umum yang lampau.

Keterbukaan informasi, peningkatan anggaran dana kampanye parpol dan mengurangi sumbangan individu bisa menjadi solusinya.

Dalam catatan ICW, 30 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi tahun 2017 tersebut terdiri dari satu gubernur, 24 bupati atau wakil bupati dan lima wali kota atau wakil wali kota yang menjadi tersangka kasus korupsi selama 2017. 12 di antaranya akan menyelenggarakan Pilkada tahun 2018.

Adapun para kepala daerah tersebut terlibat dalam 29 korupsi yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 231 miliar dan nilai suap mencapai Rp 41 miliar. "Penangkapan sejumlah kepala daerah ini diduga untuk kepentingan pilkada," kata Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina, Selasa (20/2).

Menurut Almas, bila mengkaitkan dengan agenda kampanye politik, salah satu penyebab dari korupsi ini adalah tingginya cost of fund kegiatan kampanye. Pasalnya bila membandingkan kemampuan keuangan kepala daerah dengan pengeluaran selama kampanye, maka angka akan tidak seimbang.

"Kalau kita cek dana kampanye, pengakuannya kalau tidak dari kantong pribadi, maka dari partai politik, dan tidak banyak yang mengaku dari pihak ketiga atau dari badan usaha," jelas Almas.

ICW sendiri menemukan kasus korupsi paling banyak terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Untuk menghadapi kondisi tersebut, maka keterbukaan informasi sumber keuangan, peningkatan dana politik dan pembatasan sumbangan individu bisa menjadi opsi untuk mengurangi potensi beban cost of fund.

Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyuarakan hal serupa. "Kami menyarankan, peningkatan dana politik dari pemerintah agar membuat political equality dan mengurangi pendanaan dari satu pihak tunggal," jelasnya.

Asal tahu saja, di dalam UU 2008 nomor 2 mengenai Parpol yang mengatur batasan sumbangan dari bukan anggota Parpol atau individu sebesar Rp 1 miliar dan untuk Perusahaan atau Badan Hukum sebesar Rp 4 miliar.

UU ini merevisi UU 31 tahun 2002 yang membatasi sumbangan individu sebesar Rp 200 juta dan sumbangan perusahaan dan badan hukum sebesar Rp 800 juta.

Artinya terdapat peningkatan 250% yang dikhawatirkan dapat mendompleng kualitas sumber pendanaan partai politik. "Partai dan masyarakat menjadi semakin merekognisi peran uang, bukan kinerja politik," jelas Titi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×