kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonomi digital, potensi besar penerimaan longgar


Kamis, 03 Agustus 2017 / 18:10 WIB
Ekonomi digital, potensi besar penerimaan longgar


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Pemerintah akan lebih gencar menyisir pajak dari sektor ekonomi digital, tidak hanya over the top (OTT) tetapi juga pelaku bisnis e-commerce. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan sendiri tengah menyiapkan cara mendapatkan pajak yang lebih besar dari ekonomi digital ini.

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal mengakui, pengumpulan pajak dari e-commerce sendiri belum sempurna. Pasalnya, Ditjen Pajak tak memiliki data yang lengkap mengenai pelaku usaha tersebut.

“Kalau beli barang, kemudian barang itu belinya di online marketplace, kemungkinan pajaknya belum ter-collect dengan sempurna,” kata Yon di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta beberapa waktu lalu.

Namun demikian, untuk pemain besar bisnis digital online sendiri ia mengaku Ditjen Pajak sudah bisa menarik pajaknya. Hanya saja, yang sulit, menurut dia adalah menangkap pebisnis-pebisnis kecilnya.

“Yang susah adalah pemain yang kecil-kecil. Database-nya belum seluruhnya kami punya. Meski sudah berkembang terus database-nya, tapi ini tidak bisa sekaligus selesai,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, dengan e-commerce, akan ada peralihan pola belanja yang bisa membuat negara berpotensi kehilangan penerimaan pajak mencapai sekitar Rp 20 triliun. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang responsif dan sesuai dengan kondisi industrinya.

“Artinya, negara dapat pajaknya, tapi tidak mengganggu investasinya. Apalagi yang di level start up. Apakah itu bisa? bisa,” ujarnya usai diskusi pajak “Taxing times” di Hotel Shangri-La di Jakarta, Kamis (3/8).

Menurut Yustinus, hal ini bisa dilakukan apabila Indonesia memakai sistem withholding tax dengan rate yang rendah. Meski dengan rate yang rendah, menurutnya, negara akan bisa dapat banyak.

“Misalnya 1%, tidak terlalu tinggi tapi mereka kontribusi, yang penting kan masuk dulu, daripada tidak sama sekali,” katanya.

Di sisi lainnya, untuk menjaring pajak dari perusahaan OTT, Indonesia tengah dalam pengkajian untuk menerapkan skema diverted profit tax yang sudah berlaku Inggris dan Australia. Skema itu memberikan beban pajak penghasilan (PPh) yang lebih besar ke penyedia OTT.

Rencana ini akan masuk dalam pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Pajak Penghasilan (PPh) yang kini berada di tangan DPR.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×