kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BPK: Pengelolaan obat pada program JKN belum efektif


Selasa, 03 April 2018 / 14:31 WIB
BPK: Pengelolaan obat pada program JKN belum efektif
ILUSTRASI. BPJS Kesehatan


Reporter: Ramadhani Prihatini | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan tematik atas pengelolaan obat dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2016 dan semester I-2017. Pemeriksaan tersebut dilakukan terhadap 46 objek pemeriksaan, antara lain Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan 42 Pemda.

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, BPK menyimpulkan bahwa Kementerian Kesehatan, RSUPN-CM, RSJPD Harapan Kita, Badan POM, Pemda dan BPJS Kesehatan, belum secara efektif mengelola obat dalam penyelenggaraan JKN. Hal itu terutama terkait perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta pengawasan produksi dan distribusi obat.

Kesimpulan BPK merilis ada dua poin permasalahan. Pertama, BPJS Kesehatan belum optimal dalam memberikan pembiayaan pelayanan obat di luar paket. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya mekanisme penggantian biaya obat kepada rumah sakit dan apotek yang belum terlaksana secara optimal. Klaim obat program rujuk balik (PRB) tidak ditagihkan maksimal tiap tanggal 10 bulan berikutnya oleh apotek kepada BPJS Kesehatan. Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto mengajukan tagihan obat top up kepada BPJS Kesehatan melebihi jangka waktu yang ditetapkan.

Kedua, BPJS Kesehatan belum optimal bekerja sama dengan apotek untuk menjamin pemenuhan obat pasien PRB. BPJS Kesehatan telah melakukan kerja sama dengan apotek, ruang farmasi, atau instalasi farmasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) untuk memenuhi kebutuhan obat. Tetapi, kerja sama tersebut belum memiliki pedoman yang memadai sehingga tidak dapat dilakukan secara optimal, antara lain peraturan ini tidak mengatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh apotek, ruang farmasi, atau instalasi farmasi di FKTP agar dapat bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Akibatnya, tidak ada acuan yang seragam dalam menentukan dokumen yang disyaratkan dalam kerja sama dan apotek PRB kurang optimal dalam melakukan pelayanan obat kepada pasien PRB.

Atas permasalahan tersebut, BPK memberikan rekomendasi kepada Direktur BPJS Kesehatan, agar membuat mekanisme updating tabel referensi obat yang terstandarisasi mulai sejak selesainya tabel referensi obat selesai diolah oleh IT Kantor Pusat, sampai siap di-install di faskes untuk digunakan dan melakukan evaluasi terkaitĀ  lamanya waktu yang diperlukan untuk proses tersebut.

Selanjutnya, BPJS Kesehatan harus membua pedoman yang mengatur mengenai syarat apotek/ penunjang yang bekerja sama.

"Dalam waktu 60 hari setelah kami sampaikan, mereka harus tindaklanjuti rekomendasi tersebut. Kami akan minta pengawasan dari DPR juga," kata Moermahadi, Selasa (3/4).

Ia bilang, BPK juga akan meminta Kementerian Kesehatan untuk menindaklanjuti kesimpulan ini agar pemerintah bisa mengambil keputusan terkait peningkatan efektifitas cara distribusi dan penetapan harga obat. Rencananya, BPK juga akan membicarakan rekomendasi itu kepada Presiden Joko Widodo agar pemerintah bisa melakukan perbaikan.

"Kami akan terus kejar itu, dan akan minta tindaklanjuti," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×