kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Benarkah deindustrialisasi dini sudah terjadi?


Jumat, 10 November 2017 / 19:34 WIB
Benarkah deindustrialisasi dini sudah terjadi?


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keyakinan konsumen memasuki kuartal keempat tahun ini melemah dari hasil Survei Konsumen Oktober 2017 yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Hal ini disebabkan oleh konsumen pesimistis terhadap ketersediaan lapangan kerja.

Peneliti dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus menyebutkan, hal ini terkait dengan kontribusi sektor industri yang terus menurun dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Kemampuan menyerap tenaga kerja pun rendah.

“Jadi semuanya saling terkait. Penyakit ekonominya ketahuan. Sektor-sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja kontribusinya rendah maka pasti pertumbuhan ekonomi kurang mampu serap tenaga kerja,” kata Heri di kantor INDEF, Jumat (10/11).

Dengan demikian, menurutnya, pertumbuhan ekonomi domestik belum cukup berkualitas. Sebab, pertumbuhan ekonomi berkualitas adalah yang mampu mengurangi pengangguran, ketimpangan, dan kemiskinan.

“Meski sejauh ini memang berkurang, namun tidak impresif,” ucapnya.

Catatan saja, pada triwulan III 2017, kontribusi sektor industri pengolahan tercatat turun menjadi 19,93% dari triwulan sebelumnya yang sebesar 20,25% terhadap PDB. Pada triwulan II dan III tahun lalu, kontribusinya juga terus menurun, yakni masing-masing 20,66% dan 20,09%. Dengan demikian, hal ini mengindikasikan proses deindustrialisasi terus berlangsung.

“Jumlah angkatan kerja lebih besar dari jumlah penyerapan tenaga kerja. Kecepatannya tidak sebanding,” ujarnya.

Nah, deindustrialisasi sendiri sebenernya wajar-wajar saja, melihat negara lainnya juga menghadapi ini, seperti Inggris, Amerika Serikat, Jepang. Namun, kalau ini terjadi terlalu cepat, hal ini malah membahayakan.

“Indonesia tergolong terlalu cepat. ketika barang value added-nya belum optimal, penyerapan tenaga kerja belum optimal, ekspor juga blm didukung produk yg hi-tech, masih dini sudah digeser ke jasa” jelasnya

Untuk menghadapi deindustrialisasi ini, menurutnya, strategi industrialisasi perlu digencarkan dengan menggenjot barang berorientasi ekspor. Bila hanya berbasis untuk domestik, biasanya prosesnya lebih lambat.

“Negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan sudah kejar yang hi-tech karena kalau diekspor harganya lebih mahal,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×